TIFFANEWS.CO.ID,- Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat bersama Yayasan PUSAKA dan sejumlah organisasi masyarakat sipil akan menggelar Diskusi Publik Nasional bertajuk “Pengakuan Hampa Hak: Evaluasi Pengakuan Masyarakat Adat Papua dalam 10 Tahun Rezim Pembangunan Presiden Jokowi” pada Rabu, 28 Mei 2025, bertempat di Hotel Mercure Cikini, Jakarta Pusat.
Berfokus dalam menelaah mandeknya pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Adat Papua selama sepuluh tahun terakhir. Selama dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, negara dinilai tidak melakukan langkah berarti dalam memperbaiki sistem hukum yang berlaku, meskipun sejumlah regulasi baru telah diterbitkan.
Perpres No. 28 Tahun 2023 tentang Rencana Terpadu Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial dan Kepmen Kehutanan No. 144 Tahun 2025 tentang pembentukan Satgas Penetapan Hutan Adat tak mampu menjawab akar permasalahan yang lebih mendalam: regulasi pengakuan yang bersyarat, teknis, bertingkat, dan mahal.
Akibatnya, pengakuan terhadap Masyarakat Adat Papua tetap bersifat simbolik dan tidak menyentuh aspek substansial.
“Selama sepuluh tahun terakhir, kami melihat bahwa pengakuan terhadap Masyarakat Adat Papua masih sangat simbolik. Skema hukum yang ada tidak didesain untuk memudahkan, tetapi malah menyulitkan mereka,” ujar Nur Amalia dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat.
Ia menambahkan bahwa stagnasi ini menunjukkan betapa penting dan mendesaknya pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai solusi kebijakan yang lebih adil dan kontekstual.
Data terbaru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2024 menunjukkan bahwa hingga kini hanya ada dua Surat Keputusan Hutan Adat yang diterbitkan di seluruh Tanah Papua, dibandingkan ratusan SK untuk skema perhutanan sosial lainnya.
Di Provinsi Papua, misalnya, hanya terdapat satu SK Hutan Adat, dibandingkan dengan 63 SK Hutan Kampung dan tujuh Kemitraan Kehutanan. Sementara di provinsi-provinsi lainnya, Papua Barat, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan, jumlah pengakuan Hutan Adat bahkan nihil. Data BRWA hingga Maret 2025, total keseluruhan penetapan hutan adat di pulau Papua baru 39.912 ha dari potensi luasan 12.466.866 ha. Jumlah penetapan hutan adat tersebut bahkan kalah dengan satu HGU perkebunan sawit di Kabupaten Sorong.
Ketimpangan ini menandakan bahwa komitmen negara dalam mengakui hak masyarakat adat di Papua sangat rendah dibandingkan pendekatan pembangunan berbasiskan ekstraksi sumberdaya alam di Papua.
Skema pengakuan hutan adat di Papua tidak hanya tersendat oleh minimnya regulasi afirmatif, tetapi juga oleh ketimpangan kapasitas kelembagaan antara pusat dan daerah.
Banyak pemerintah daerah di Papua belum memiliki perangkat hukum daerah, seperti Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, yang menjadi syarat administratif dalam proses pengusulan hutan adat.
Di sisi lain, masyarakat adat dan organisasi pendamping juga kesulitan memenuhi tuntutan teknis seperti pemetaan wilayah adat, pengumpulan bukti sejarah, hingga legalisasi kelembagaan adat.
Tanpa intervensi langsung dari kementerian dan alokasi anggaran yang memadai, proses pengakuan akan terus menjadi beban yang tidak proporsional bagi masyarakat adat sendiri.
Hal senada disampaikan oleh Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo dari IPB, yang menyebut bahwa proses verifikasi pengusulan hutan adat di Papua seringkali terhambat oleh birokrasi sektoral.
“Kami menemukan bahwa proses pengakuan di Papua sangat lambat karena tidak adanya pemetaan partisipatif yang sistematis dan kurangnya dukungan institusional. Solusinya perlu pendekatan yang lebih kontekstual, bukan seragam,” ujarnya.
Dari perspektif hukum, Yance Arizona, Ph.D, dosen Fakultas Hukum UGM, menegaskan bahwa desain hukum pengakuan Masyarakat Adat di Papua tampaknya memang tidak pernah ditujukan untuk benar-benar memberikan perlindungan.
“UU Otsus Papua seharusnya menjadi lex specialis yang bisa memperkuat pengakuan, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Selama ini, jalur pengakuan tetap menginduk pada kebijakan nasional yang rumit dan ter sektoralisasi. Ini menunjukkan bagaimana hukum bisa menjadi alat pengingkaran, bukan perlindungan,” tegasnya.
Pernyataan Yance memperlihatkan bahwa persoalan pengakuan terhadap masyarakat adat di Papua tidak hanya berkutat pada tataran implementasi, tetapi justru berakar dari desain hukum yang sejak awal tidak ditujukan untuk melindungi secara substansial.
Kondisi ini menjadi semakin ironis ketika status Otonomi Khusus yang seharusnya memberikan keistimewaan justru tidak menghadirkan perlindungan lebih baik dibandingkan wilayah non-Otsus. Situasi ini mempertegas bahwa keberadaan regulasi nasional yang kompleks, tersektoralisasi, dan jauh dari konteks lokal telah menjadi penghalang utama dalam pengakuan hak-hak masyarakat adat.
Agung Wibowo dari HuMa Indonesia juga menyoroti lemahnya pemenuhan hak-hak masyarakat adat secara hukum. “Kita bisa lihat perbandingan antara wilayah Otsus dan non-Otsus, pengakuan Masyarakat Adat tidak lebih baik di Papua. Bahkan Satgas Hutan Adat pun berhadapan dengan tantangan klasik: regulasi yang tidak berpihak, minim anggaran, dan rendahnya kemauan politik,” katanya.
Diskusi ini diharapkan dapat menghasilkan catatan kritis dari masyarakat sipil dan akademisi untuk mendorong reformasi kebijakan pengakuan Masyarakat Adat di Papua. Selain itu, forum ini juga akan menghadirkan cerita langsung dari organisasi pendamping masyarakat adat seperti Panah Papua (Papua Barat) dan Akar Foundation (Bengkulu) yang akan berbagi pengalaman advokasi pengakuan dan hambatannya.
Hasil diskusi ini akan dirumuskan menjadi bahan advokasi dan kampanye kolektif guna mendorong perubahan pendekatan negara terhadap masyarakat adat dan wilayah adatnya, tidak hanya di Papua tetapi juga di seluruh Indonesia.
Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat berharap diskusi ini menjadi langkah awal menuju pembaruan hukum yang lebih inklusif dan kontekstual dalam memastikan keadilan sosial dan hak asasi masyarakat adat Papua, yang selama ini masih diabaikan oleh arus utama pembangunan.(*)