TIFFANEWS.CO.ID – Dalam perjalanan reses yang digelar di Kampung Imbuti, anggota DPR Papua Selatan dari jalur afirmasi, Joseph Albin Gebze, mengangkat suara yang lama terpendam dari tanah leluhurnya. Sebuah seruan yang lahir bukan sekadar dari tugas politik, tetapi dari panggilan batin sebagai anak adat Sosom, yang merasa harus kembali menyentuh akar-akar peradaban yang kini nyaris dilupakan.
“Imbuti bukan sekadar kampung,” ujar Joseph dengan nada tegas namun lembut saat ditemui TIFFANEWS, Kamis (24/7/2025) di Merauke. “Di sinilah titik awal ketika Papua Selatan terbuka sebagai sebuah peradaban. Imbuti adalah kampung sejarah, kampung peradaban.”
Ia menuturkan bahwa kampung Imbuti memiliki nilai sejarah yang tinggi dan menjadi fondasi identitas masyarakat adat Sosom. Namun, kenyataan hari ini menunjukkan ironi yang menyakitkan: tempat yang dulu menjadi pusat budaya dan kehidupan masyarakat adat kini terlantar dan tak tersentuh perhatian serius dari pemerintah.
Dalam hasil resesnya, Joseph mencatat banyak aspirasi masyarakat yang berakar dari rasa kehilangan. Kehilangan ruang hidup yang tertata, kehilangan jejak budaya yang semakin kabur, kehilangan jaminan perlindungan sebagai pemilik sah tanah adat, hingga kehilangan keadilan dalam distribusi bantuan dan program pembangunan.
Ia menyayangkan belum adanya regulasi yang melindungi masyarakat adat pesisir, khususnya di wilayah Malind Anim, Imbuti, yang hingga kini terus bertahan menjaga tanah leluhur mereka di tengah arus pembangunan yang kerap mengabaikan eksistensi mereka.
“Mereka tetap berdiri di tanahnya sendiri, tapi tak pernah merasa memiliki,” ucap Joseph lirih.
Penataan kawasan pesisir Merauke, menurutnya, juga belum menunjukkan arah yang jelas. Garis pantai dari Imbuti hingga Yobar, sebutnya, masih dikuasai oleh tambatan kapal-kapal liar yang tidak teratur dan tak pernah disentuh oleh kebijakan penataan ruang secara menyeluruh.
Bukan hanya soal fisik wilayah, Joseph juga menyoroti bagaimana wajah budaya lokal perlahan-lahan menghilang dari kehidupan sehari-hari masyarakat adat. Ia menegaskan bahwa penguatan identitas kampung adat sangat penting agar generasi muda tidak tercerabut dari sejarah dan jati diri mereka sendiri.
Lebih jauh, ia mengangkat persoalan yang kerap menjadi keluhan masyarakat: pembagian bantuan pemerintah yang mengatasnamakan masyarakat adat Imbuti, namun kenyataannya tidak sepenuhnya menyasar kepada penduduk asli. Ia mengungkapkan adanya kecenderungan pihak lain mengklaim hak masyarakat adat dengan membawa nama Imbuti, menciptakan heterogenisasi kampung adat yang tak sehat.
“Jika kampung adat ini hendak diakui, maka bentuknya harus jelas, penduduknya harus benar, dan tata kelolanya harus kembali pada kearifan lokal,” tegasnya.
Ia pun mempertanyakan apakah pemerintah daerah dan provinsi benar-benar memiliki komitmen terhadap pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Bukan hanya melalui slogan, tetapi dengan kebijakan nyata: sekolah gratis, fasilitas kampung adat, pelatihan kader muda, dan pengamanan wilayah laut sebagai sumber utama penghidupan masyarakat adat Imbuti.
Joseph menekankan pentingnya pembinaan generasi muda, bukan hanya dalam aspek pendidikan formal, tetapi juga pelatihan keterampilan dan pewarisan nilai-nilai adat yang dapat memperkuat jati diri mereka di masa depan. Ia menyebut bahwa pembangunan tanpa manusia adat di dalamnya adalah pembangunan yang kosong.
“Kami bukan sedang menuntut kemewahan, kami hanya ingin hak kami dihargai, identitas kami dihormati, dan sejarah kami tidak dihapus dari peta kebijakan,” katanya.
Di akhir pernyataannya, Joseph menyampaikan komitmennya sebagai legislator dari jalur afirmasi untuk memperjuangkan semua aspirasi ini secara prosedural di parlemen. Ia menyebut bahwa suara masyarakat adat tidak boleh hanya bergema saat musim reses, tetapi harus menjadi bagian dari kebijakan jangka panjang yang inklusif dan adil.
“Imbuti adalah cermin masa lalu kita, dan semestinya juga menjadi pintu masa depan. Jika kita membangun Merauke, mari kita mulai dari tempat di mana semuanya bermula,” tutup Joseph dengan penuh harap. (Ron)