TIFFA NEWSTIFFA NEWS
  • HOME
  • BERITA
  • OLAHRAGA
  • KAMTIBMAS
  • POLITIK
  • PPS
  • NUSANTARA
  • GALERI
  • OPINI
  • OTHERS
    • PUSTAKA
    • BUDAYA
    • EKONOMI
    • HANKAM
    • HAM
    • JEJAK
    • GAYA HIDUP
    • INTAN JAYA
    • SOSOK
Search
Reading: Negara, Pesantren, dan Timbangan Keadilan: Sebuah Refleksi Filsafati
Share
TIFFA NEWSTIFFA NEWS
Search
  • HOME
  • BERITA
  • OLAHRAGA
  • KAMTIBMAS
  • POLITIK
  • PPS
  • NUSANTARA
  • GALERI
  • OPINI
  • OTHERS
    • PUSTAKA
    • BUDAYA
    • EKONOMI
    • HANKAM
    • HAM
    • JEJAK
    • GAYA HIDUP
    • INTAN JAYA
    • SOSOK
Have an existing account? Sign In
Follow US
© 2022 RAKA for Tiffa Company. All Rights Reserved.
TIFFA NEWS > News > BERITA > Negara, Pesantren, dan Timbangan Keadilan: Sebuah Refleksi Filsafati
BERITABUDAYA

Negara, Pesantren, dan Timbangan Keadilan: Sebuah Refleksi Filsafati

Last updated: 10/10/2025 - 20:27
By Ronny Tiffa News
Share
Generasi Harapan Masa Depan Bangsa Indonesia.
SHARE

Oleh : Yohanis Elia Sugianto 

(Opini ini adalah pandangan pribadi dan tidak merepresentasikan institusi manapun)

“Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran.”

(John Rawls – A Theory of Justice)

Rencana Kementerian Agama untuk membentuk Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren bukanlah sekadar isu reorganisasi birokrasi. Ia adalah sebuah simulacrum; sebuah peristiwa yang di permukaannya tampak teknis-administratif, namun di baliknya menyimpan lapisan-lapisan makna, pertaruhan ideologis, dan implikasi filosofis yang mendalam tentang bagaimana kita memandang hubungan antara negara, agama, dan keadilan dalam bingkai keindonesiaan. Untuk membedahnya secara objektif, kita perlu meminjam pisau analisis filsafat, terutama filsafat politik dan etika.

Wacana ini menempatkan negara pada sebuah persimpangan krusial antara dua prinsip etis yang agung namun berpotensi saling menegasikan: politik pengakuan (politics of recognition) dan prinsip keadilan distributif yang netral (neutral distributive justice).

Logika Pengakuan: Saat Negara Akhirnya “Melihat” Pesantren

Di satu sisi, pembentukan Ditjen Pesantren dapat dibaca sebagai puncak dari apa yang disebut filsuf Jerman, Axel Honneth, sebagai “perjuangan untuk diakui” (struggle for recognition). Selama berpuluh-puluh tahun, pesantren telah eksis sebagai tulang punggung pendidikan moral dan intelektual bangsa, namun seringkali berada di pinggiran lanskap kebijakan formal negara. Ia dipandang sebagai entitas kultural yang penting namun “liyan”, yang otonom namun tidak sepenuhnya terintegrasi dalam skema besar aparatur negara.

Undang-Undang No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren menjadi titik balik, sebuah momen legislatif di mana negara secara formal memberikan rekognisi, afirmasi, dan janji fasilitasi. Dalam kerangka ini, Ditjen Pesantren adalah manifestasi birokratis dari pengakuan tersebut. Filsuf Kanada, Charles Taylor, berpendapat bahwa pengakuan bukanlah sekadar basa-basi; ia adalah kebutuhan vital manusia. Kesalahan pengakuan (misrecognition), atau ketiadaan pengakuan, dapat menjadi sebentuk opresi yang menyakitkan.

Trending Now:  Polsek Kimaam dan Babinsa Bantu Warga yang Terkena Banjir Rob

Dari sudut pandang ini, rencana tersebut adalah sebuah tindakan keadilan afirmatif. Negara, dengan segala perangkatnya, akhirnya “melihat” pesantren secara utuh -bukan hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai pusat dakwah dan pilar pemberdayaan masyarakat. Ini adalah upaya negara untuk membayar utang historisnya kepada institusi yang telah terbukti perannya sejak sebelum republik ini lahir.

Bayang-Bayang “Governmentality” dan Risiko Intervensi

Namun, di sisi lain, tersembunyi sebuah risiko yang tak kalah fundamental. Setiap uluran tangan negara yang membawa serta fasilitas dan rekognisi, juga membawa serta logika kekuasaan yang melekat padanya. Filsuf Prancis, Michel Foucault, memperkenalkan konsep “governmentality” – sebuah cara negara mengelola dan mendisiplinkan populasi bukan melalui paksaan, melainkan melalui regulasi, standardisasi, dan kategorisasi yang tampak rasional dan bermanfaat.

Pembentukan Ditjen Pesantren secara inheren akan menciptakan sebuah aparatus birokrasi yang memiliki kuasa untuk mendefinisikan “apa itu pesantren yang ideal”, menetapkan standar, menyalurkan dana berdasarkan kriteria tertentu, dan pada akhirnya, mengintervensi otonomi serta keragaman yang selama ini menjadi kekuatan pesantren. Ruhul ma’had – spirit pesantren yang tumbuh dari keikhlasan kiai, kemandirian santri, dan keunikan tradisi adalah sesuatu yang cair, spiritual, dan organik. Ia berisiko tergerus ketika dihadapkan pada logika birokrasi yang kaku, terukur, dan seragam.

Negara yang bermaksud memfasilitasi bisa jadi justru melakukan “domestikasi”, menjinakkan kekhasan ribuan pesantren ke dalam beberapa kategori administratif yang mudah dikelola. Niat baik untuk memberdayakan dapat berbalik menjadi kontrol yang mematikan kreativitas dan independensi.

Dilema Rawlsian: Keadilan di Bawah “Selubung Ketidaktahuan”

Inilah titik di mana perdebatan ini mencapai inti persoalan filsafat keadilannya, terutama saat kita meletakkannya dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk. Filsuf politik Amerika, John Rawls, dalam A Theory of Justice, mengusulkan sebuah eksperimen pikiran yang disebut “posisi asali” (original position) di bawah “selubung ketidaktahuan” (veil of ignorance).

Trending Now:  Bupati Intan Jaya Resmikan Patung Santo Fransiskus Asisi di SMP YPPK Bilogai

Rawls mengajak kita membayangkan: jika kita merancang prinsip-prinsip dasar sebuah masyarakat yang adil tanpa mengetahui apa posisi kita di dalamnya – kita tidak tahu apa agama kita, etnis kita, atau status sosial kita – prinsip seperti apa yang akan kita pilih? Jawabannya, menurut Rawls, adalah kita akan memilih prinsip yang paling melindungi pihak yang paling rentan, dan kita akan menuntut negara untuk bersikap netral dan tidak memihak pada satu konsepsi kebaikan (juga agama) tertentu.

Sekarang, mari kita terapkan eksperimen pikiran ini. Dari balik selubung ketidaktahuan, apakah kita akan menyetujui sebuah kebijakan di mana negara membentuk sebuah direktorat jenderal – eselon tertinggi dalam birokrasi kementerian—yang secara eksklusif didedikasikan untuk lembaga pendidikan dari satu agama saja, sementara lembaga pendidikan dari agama-agama lain (seperti Seminari, Pasraman, dan lainnya) hanya ditangani pada level direktorat atau sub-direktorat?

Kemungkinan besar tidak. Alasannya sederhana: kebijakan semacam itu secara struktural menciptakan sebuah ketidaksetaraan. Ia mengirimkan sinyal kuat bahwa ada “anak emas” dan “anak tiri” dalam keluarga besar bangsa. Ia mungkin tidak bermaksud diskriminatif, tetapi dampaknya berpotensi besar menciptakan kecemburuan sosial, merusak rasa kesetaraan kewarganegaraan, dan mencederai prinsip netralitas negara yang menjadi fondasi Pancasila.

Menuju Sintesis: Keadilan Proporsional yang Inklusif

Lantas, bagaimana kita keluar dari dilema ini? Membatalkan niat baik untuk mengakui pesantren tentu bukan pilihan yang bijak. Namun, melanjutkannya tanpa memedulikan prinsip keadilan bagi minoritas adalah sebuah pengkhianatan terhadap kontrak sosial kita sebagai bangsa.

Jalan keluarnya terletak pada sebuah sintesis: negara harus mampu menjalankan politik pengakuan secara inklusif. Artinya, semangat rekognisi dan afirmasi yang diberikan kepada pesantren harus diparalelkan dengan semangat yang sama kepada lembaga-lembaga pendidikan keagamaan lainnya.

Trending Now:  Pj Gubernur Papua Selatan Tinjau Lokasi Pembangunan Perkebunan Tebu di Merauke

Jika negara memutuskan bahwa pembentukan Ditjen Pesantren adalah sebuah keniscayaan, maka negara juga memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk menciptakan mekanisme fasilitasi dan afirmasi yang setara secara proporsional bagi komunitas agama lain. Bentuknya tidak harus sebuah Ditjen yang identik, tetapi harus memiliki bobot politik, anggaran, dan perhatian kebijakan yang sepadan. Negara harus memastikan bahwa alokasi sumber daya tidak menjadi timpang, dan bahwa semua warga negara, dari kelompok mayoritas maupun minoritas, merasakan kehadiran negara yang adil dan mengayomi.

Pada akhirnya, kualitas sebuah kebijakan tidak diukur dari seberapa baik ia melayani kelompok mayoritas, tetapi dari seberapa cermat ia melindungi hak dan martabat kelompok minoritas. Rencana pembentukan Ditjen Pesantren akan menjadi sebuah langkah maju yang bersejarah hanya jika ia diiringi oleh komitmen nyata untuk merawat timbangan keadilan bagi seluruh anak bangsa. Tanpa itu, ia hanya akan menjadi monumen megah bagi satu kelompok, yang dibangun di atas fondasi keadilan yang rapuh.

Daftar Pustaka

Foucault, Michel. “Governmentality.” In The Foucault Effect: Studies in Governmentality, edited by Graham Burchell, Colin Gordon, and Peter Miller, 87–104. Chicago: University of Chicago Press, 1991.

Honneth, Axel. The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts. Translated by Joel Anderson. Cambridge, MA: MIT Press, 1995.

Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.

Rawls, John. A Theory of Justice. Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 1971.

Taylor, Charles. “The Politics of Recognition.” In Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition, edited by Amy Gutmann, 25–73. Princeton, NJ: Princeton University Press, 1994.

You Might Also Like

Tanah Adat di Papua Selatan: Antara Ekspansi Korporasi dan Panggilan Keadilan Filosofis

Tangis Bahagia Albertina Mekiuw: Bantuan Usaha dari Presiden Prabowo Jadi Kado Istimewa

Pemuda Celana Putih Viral Saat Kejar Polisi di Merauke, Kini Jadi Tersangka!

PMI Hidupkan Semangat Olahraga dan Budaya Papua Lewat Yospan, Fun Run, dan Gerak Jalan

Ronny Tiffa News 10/10/2025
Share this Article
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Telegram Email Print
What do you think?
Love0
Sad0
Happy0
Sleepy0
Angry0
Dead0
Wink0
Previous Article Pemuda Celana Putih Viral Saat Kejar Polisi di Merauke, Kini Jadi Tersangka!
Next Article Tangis Bahagia Albertina Mekiuw: Bantuan Usaha dari Presiden Prabowo Jadi Kado Istimewa
Leave a comment

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow US

Find US on Social Medias
Facebook Like
Twitter Follow
Youtube Subscribe
Telegram Follow
- Advertisement -
Ad imageAd image
- Advertisement -
Ad imageAd image
newsletter featurednewsletter featured

Weekly Newsletter

Kirim Email Anda agar bisa kami infokan berita pilihan terpopuler

Popular News
BERITAPPS

Program DP2KP Papua Selatan Berbuah Manis: Warga Asmat Panen Sayur Sendiri

By Ronny Tiffa News 5 days ago
Bahas Masa Depan Media Lokal, tiffanews Hadiri Local Media Summit 2025
Presiden Prabowo Lantik Pengurus Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua
Local Media Summit 2025, Wamenkomdigi Nezar Patria: AI Tak Bisa Gantikan Nurani Jurnalis
Presiden Prabowo Lantik Gubernur dan Wakil Gubernur Papua

SUARNEWS.COM

about us

We influence 20 million users and is the number one business and technology news network on the planet.

  • BERITA
  • PON XX 2021
  • GALERI
  • KAMTIBMAS
  • NUSANTARA
  • PUSTAKA
  • GAYA HIDUP
  • JEJAK
  • SUARNEWS
  • INTAN JAYA
  • Susunan Redaksi
  • Tentang Kami
  • Contact
  • Privacy Policy
  • Disclaimer

Find Us on Socials

© TIFFANews Network. RAKA GENDIS.id Company. All Rights Reserved. Suar News

Removed from reading list

Undo
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?