Oleh Paskalis Kossay
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesi selanjutnya disingkat DPR RI adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab VII pasal 19,20, 20A, 21,22, 22A dan 22B mengatur tentang keberadaan Kelembagaan DPR RI, hak , fungsi dan kewajiban, serta wewenang Anggota DPR RI. Tidak disebutkan masa jabatan atau periodesasi masa jabatan Anggota DPR RI.
Dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD , dan DPRD Provinsi serta DPRD Kabupaten /Kota ( MD3 ) dan Undang-Undang Pemilu pun tidak membatasi masa jabatan Anggota DPR, meskipun telah ada beberapa upaya dan permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk membatasinya.
Hal ini memungkinkan Anggota DPR untuk menjabat kembali selama terpilih kembali dalam pemilihan umum, dengan tujuan memberikan kesempatan bagi warga negara untuk dipilih dan memilih, sekaligus menghindari pembatasan yang terlalu ketat pada hak konstitusional warga negara.
Tetapi dalam argumen lain mengatakan, bahwa pembatasan diperlukan untuk mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh anggota legislatif yang menjabat terlalu lama. Adanya pembatasan akan membuka kesempatan bagi munculnya ide-ide baru dari generasi anggota legislatif yang lebih muda, serta memberi kesempatan bagi warga negara lain untuk terlibat dalam pemerintahan.
Sementara Mahkamah Konstitusi berpendapat , bahwa hingga saat ini belum terdapat perkembangan dan kebutuhan baru serta alasan yang kuat dan mendasar bagi Mahkamah untuk mengubah pendirian berkenaan dengan isu konstitusional pembatasan periodesasi masa jabatan anggota legislatif.
Menurut Mahkamah, masa jabatan anggota DPR dan juga DPD tak perlu dibatasi seperti pembatasan masa jabatan presiden ataupun kepala daerah, yang hanya diperbolehkan maksimal dua periode atau 10 tahun.
Mahkamah Konstitusi menilai, anggota legislatif adalah jabatan majemuk yang setiap keputusan strategisnya memerlukan kesepakatan dengan seluruh atau sebagian besar anggota dewan lainnya.
Menurut Mahkamah, hal ini berbeda dengan jabatan kepala negara dan kepala daerah yang merupakan jabatan tunggal dan berpotensi penyelewengan atau kesewenangan jika tidak dibatasi .
Sedangkan Anggota DPR dan DPRD adalah adalah jabatan majemuk yang setiap pengambilan keputusan dalam menjalankan kewenangannya dilakukan secara kolektif, sehingga sangat kecil kenungkinannya untuk terjadi kesewenang-wenangan.
Dengan mempertimbangkan sangat kecil kemungkinan pembatasan masa jabatan anggota DPR, maka Mahkamah merekomendasikan, untuk pembatasan periode seseorang menjadi anggota DPR atau DPRD merupakan kewenangan partai politik pengusung.
Setiap partai politik dengan kebijakan tertentu, bisa saja membatasi seseorang kader hanya boleh menjadi anggota legislatif selama periode tertentu. Partai politik mengembangkan pola rekrutmen dan kaderisasi yang lebih baik, sehingga kader yang lolos ke parlemen merupakan sosok terbaik dan berintegritas.
Setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, dalam hirarki struktur ketata negaraan Indonesia, tidak ada penjenjangan lembaga tinggi negara dan lembaga tertinggi negara , seperti MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, dan BPK, berkedudukan sama dan setara. Jika harus dilakukan pembatasan masa jabatan DPR , maka konsekuensinya adalah harus dilakukan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terlebih dahulu.
Berkenaan dengan pembatasan masa jabatan unsur kelembagaan tinggi negara, menurut Jimly Ashiddigie dalam bukunya yang berjudul ” Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia ” (2006) , mengatakan, pembatasan dan pengendalian dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan merupakan prinsip konstitusionalisme moderen. Dengan demikian desakan pembatasan masa jabatan anggota DPR saat ini merupakan tuntutan jaman yang terus berubah dan harus disikapi secara konstitusional.
Jika berbicara tentang periodesasi masa jabatan unsur lembaga tinggi negara secara konstitusional merupakan “rule of the game ” yang harus mengatur pembatasan lamanya dalam memimpin negara.
Sri Soemantri Martosoewignjo, dalam tulisannya berjudul ” Fungsi Konstitusi dalam Pembatasan Kekuasaan ” (1996) menyebutkan, bahwa pembatasan kekuasaan yang tercantum dalam konstitusi menyangkut dua hal : Pertama, pembatasan kekuasaan yang berkenaan dengan isinya, dan kedua, pembatasan kekuasaan yang berkenaan dengan waktu.
Pembatasan kekuasaan tentang isi, berkaitan dengan tugas, wewenang, serta berbagai macam hak yang diberikan kepada masing-masing lembaga. Sedangkan pembatasan kekuasaan yang berkenaan dengan waktu, merupakan masa jabatan yang diberikan kepada pejabat yang memegang jabatan serta berapa kali seorang pejabat dapat dipilih kembali.
Dalam konteks isu pembatasan masa jabatan anggota DPR, dari aspek pembatasan berkenaan dengan isi maupun waktu, agak terkontrol karena secara konstitusional tidak dimungkinkan adanya pembatasan masa jabatan anggota DPR. Fungsi dan tanggung jawab anggota DPR secara konstitusional sebagaimana diatur dalam undang-undang MD3.
Sri Soemantri juga menyebutkan, kepemimpinan pejabat negara yang terus menerus berlangsung, selain menghambat regenerasi kepemimpinan nasional, juga berpotensi untuk disalahgunakan apabila kekuasaan tersebut tidak dibatasi secara tegas dalam konstitusi.
Jika harus dilakukan pembatasan masa jabatan DPR , maka harus ditempuh dengan mekanisme konstitusional. Dilakukan amandemen UUD NRI Tahun 1945 , pengusul minimal 1/3 anggota MPR, usulan diajukan secara tertulis dengan alasan yang jelas, sidang MPR dihadiri 2/3 anggota MPR dan keputusan perubahan disetujui oleh 50 prosen anggota MPR.
Persyaratannya cukup ketat dan melelahkan , namun jika demi kepentingan bangsa dan negara , apapun tantangannya pasti bisa diselesaikan, asal komitmen kebangsaan dan nasionalisme ke Indonesiaan menjadi modal dasar dalam upaya amandemen konstitusi negara.
Paskalis Kossay, Anggota DPR RI 2009 -2014, Pengamat Sosial – Politik.