TIFFA NEWSTIFFA NEWS
  • HOME
  • BERITA
  • OLAHRAGA
  • KAMTIBMAS
  • POLITIK
  • PPS
  • NUSANTARA
  • GALERI
  • OPINI
  • OTHERS
    • PUSTAKA
    • BUDAYA
    • EKONOMI
    • HANKAM
    • HAM
    • JEJAK
    • GAYA HIDUP
    • INTAN JAYA
    • SOSOK
Search
Reading: Demokrasi Jatuh dari Langit?
Share
TIFFA NEWSTIFFA NEWS
Search
  • HOME
  • BERITA
  • OLAHRAGA
  • KAMTIBMAS
  • POLITIK
  • PPS
  • NUSANTARA
  • GALERI
  • OPINI
  • OTHERS
    • PUSTAKA
    • BUDAYA
    • EKONOMI
    • HANKAM
    • HAM
    • JEJAK
    • GAYA HIDUP
    • INTAN JAYA
    • SOSOK
Have an existing account? Sign In
Follow US
© 2022 RAKA for Tiffa Company. All Rights Reserved.
TIFFA NEWS > News > BERITA > Demokrasi Jatuh dari Langit?
BERITAOPINI

Demokrasi Jatuh dari Langit?

Last updated: 22/09/2025 - 12:53
By bungben
Share
Wilfridus Fon
SHARE

Oleh Wilfridus Fon

Judul tersebut memantik penulis untuk merefleksikan kembali eksistensi demokrasi di era kontemporer terkhusus konteks Indonesia. Rumusan lengkapnya begini, apakah demokrasi itu jatuh dari langit? Pertanyaan ini menarik untuk dikaji dan direfleksikan lebih jauh. Barangkali, kita dapat menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut dengan menelusuri beberapa catatan historis tentang kelahiran demokrasi dalam peradaban manusia.

Berhadapan dengan pertanyaan tersebut, jawaban yang dikemukanan penulis ialah “tidak”. Demokrasi tidak jatuh dari langit. Demokrasi bukan “wahyu” yang diterima begitu saja oleh negara yang memuja dan menyembahnya. Demokrasi adalah buah dari perjuangan manusia. Tentu, ada keungulan tertentu yang terkandung di dalam demokrasi sehingga tak sedikit negara modern memperjuangakan demokrasi.

Dalam beberapa catatan sejarah, demokrasi lahir sebagai penolakan radikal terhadap rezim berwatak otoriter, monarkis, dan absolut yang cenderung menindas masyarakat. Demokrasi di Inggris lahir pasca perang saudara yang berpuncak pada eksekusi raja oleh parlemen.

Kemudian, demokrasi Perancis lahir pasca revolusi berdarah pada 1789-1799 sehingga berhasil mengulingkan rezim monarki absolut.

Berikutnya, peristiwa people power pada 1986 di Filipina yang berhasil menumbangkan rezim  Ferdinand Marcos yang berkuasa dari 1965 sampai 1986. Lalu, demokrasi reformasi di Indonesia yang ditempuh lewat demonstrasi berdarah 1998 yang mendongkel rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun.

Fakta sejarah tersebut, juga dalam negara-negara lain yang tidak disebutkan di sini, melegitimasi jawaban demokrasi sebagai buah perjuangan manusia.

Dari sejarah, kita belajar banyak hal bahwa petualangan menuju demokrasi tak selamanya mulus. Terkadang, kita harus menempuh jalur perang; dan menghadapi percecokan serta pertikaian yang memakan ratusan, ribuan, bahkan jutaan nyawa manusia.

Perjalanan menuju demokrasi selalu mengandaikan adanya korban. Karena itu, membangun demokrasi tak segampang membolak-balikan telapak tangan.

Demokrasi

Terminologi demokrasi berasal dari bahasa Yunani democratia yang merupakan gabungan dari kata demos [=rakyat] dan kratein [=memerintah]. Demokrasi diartikan sebagai pemerintahan rakyat.

Aristoteles mengatakan bahwa demokrasi menjadi bentuk pemerintahan di mana rakyat sendiri yang menjalankan dan menentukan dinamika politik. Pandangan Aristoteles ini menentang sistem pemerintahan di tangan satu orang [monarki] dan  di tangan orang-orang yang memiliki hak-hak istimewah [aristokrasi].

Gayung bersambut, dalam bukunya The social Contract, Rousseau menegaskan bahwa yang berdaulat penuh dalam suatu negara demokratis ialah rakyat [the legislative power belongs, and can only belong to the people] [Rousseau:1998].

Trending Now:  Kunjungan Presiden ke Papua Selatan, GMKI Merauke : Pemerintah Harus Fokus SDM Bukan Hanya Infrastruktur

Rousseau mengariskan bahwa rakyat memiliki wewenang penuh dalam mengatur pemerintahan sehingga menjamin kepentingan umum [volonte generale]. Kepentingan umum dimaksud mencakupi kebutuhan semua warga negara, bukan pihak penguasa atau kelompok tertentu.

Senada dengan Aristoteles dan Rousseau, Abraham Lincoln, presiden ke-16 USA, dengan lugas dan tanpa tedeng aling-aling mengemukakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat [The government of the people, by the people, dan for the people]. Tuntutan etisnya pun jelas bahwa subjek pelayanan politik adalah rakyat sendiri. Pelayanan yang diberikan penguasa kepada rakyat bukanlah tindakan karitatif penguasa semata, tapi sebuah keniscayaan.

Demokrasi mengandung serta prinsip-prinsip etis di dalam dirinya. Pertama ialah prinsip kesetaraan (equality). Prinsip kesetaraan memaklumkan bahwa semua warga negara memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi aktif dalam aneka aktivitas politis seperti dalam perumusan kebijakan politik, hak untuk bersuara dan berpendapat di ruang publik, dan hak kontrol dalam mengawal kinerja pemerintah. Dengan demikian, kekuasaan sungguh berorientasi pada pemenuhan kehendak umum, bukan pihak penguasa [Nurtjahjo:2006].

Kedua ialah prinsip negara hukum (the rule of law). Hukum mengatur kehidupan baik warga negara maupun penguasa negara. Dalam karyanya De Cevitate Dei [Kota Allah], St. Agustinus [354-430] dari Hippo menegaskan bahwa jika suatu negara tanpa hukum, maka negara tak ubahnya segerombolan perampok besar.

Tanpa hukum, korupsi, manipulasi, kezaliman, dan chaos niscaya tak terhindarkan. Dalam demokrasi, supremasi hukum menjadi kunci pengendalian tendensi dan akselerasi busuk. Hukum juga bertujuan untuk melindungi setiap warga negara dari praktik kekuasaan yang sewenang-wenang.

Ketiga ialah pemilihan umum yang fair. Sistem pemilihan umum yang fair adalam elemen esensial demokrasi. Dalam demokrasi, semua warga negara berhak mencalonkan diri dalam memangku jabatan-jabatan politis lewat proses pemilihan umum yang kempetitif.

Karl Raimund Popper (1902-1994) menegaskan bahwa demokrasi memungkinkan transisi kekuasaan tanpa perang dan konflik berdarah. Selain itu, dalam proses pemilihan, penyelenggara pemilu harus dipastikan menjadi wasit yang netral.

Keempat ialah prinsip menjunjung inklusifisme. Prinsip insklusifme mendorong negara agar dalam pelayanan selalu berorientasi pada kepentingan seluruh warga negara.  Selain itu, prinsip ini menentang aneka diskriminasi atas dasar gender, kelas sosial, ras, lain sebagainya. Singkatnya, prinsip ini menentang sikap superioritas golongan tertentu terhadap golongan masyarakat lainnya.

Trending Now:  Gubernur Papua Selatan Sindir Modernisasi: “Kembali ke Nasehat Orangtua, Bukan Hanya Mengejar Pekerjaan”

Demokrasi di Indonesia

Keempat prinsip di atas memungkinkan banyak negara modern memuja dan meluhurkan demokrasi, dan menjadikannya sebagai sistem pemerintahan politik. Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem politik demokrasi. Tumbangnya rezim Soeharto pada 1998 telah membuka gerbang terciptanya tatanan politik yang demokrastis di Indonesia. Hak-hak politik masyarakat dijamin oleh negara.

Namun, reformasi 1998 bukanlah peralihan total dari otoritarianisme ke demokrasi. Itu hanyalah fase peralihan menuju demokrasi. Sejak awal, demokrasi reformasi de facto bukanlah purifikasi total dari Orde Baru. Ada kegagapan ide dan kegagalan praksis di masa transisi itu yang kerap tak sesuai dengan ekspetasi para aktivis reformasi 1998. Sebagai konsekuensi logisnya, tujuan politik untuk kesejahteraan rakyat mustahil diimplementasikan. Demokrasi mengalami kemunduran, mengalami pasang surut, dan nyaris kehilangan esensinya.

Titik tolak penilaian kemunduran demokrasi Indonesia mengacu pada aneka fenomena politik menyimpang. Hal ini terkonfirmasi dalam fakta lemahnya komitmen elite politik terhadap aturan main demokrasi, penangguhan terhadap konstitusi, mengakar dan menjalarnya praktik Korupsi, Kolusi, Nepotisme [KKN], sistem politik yang disesaki oleh para oligark, penindasan terhadap oposisi, pemasungan kebebasan berpendapat dan berbicara masyarakat sipil di ruang publik, normalisasi represifitas dan intimidasi terhadap masyarakat kritis, dan maraknya politik identitas.

Indikator kemunduran demokrasi di atas adalah ancaman nyata bagi tegaknya demokrasi di Indonesia saat ini, dan jika dibiarkan maka akan berbuntut pada kolapsnya tatanan politik. Hal ini terjadi karena politik dipahami sebatas urusan merengkuh kekuasaan dan bagaimana cara mempertahankannya. Kemudian, demokrasi Indonesia berwatak elitis, di mana elite politik memainkan peranan mutlak dalam melaksanakan kekuasaan politik dan pembuatan regulasi. Masyarakat kemudian didemonisasi sebagai massa mengambang dan tidak paham politik.

Beberapa Solusi

Berkonfrontasi dengan fakta yang ada, bangsa Indonesia tak punya pilihan selain menegaskan kembali visi reformasi. Penegasan itu tentu tidak harus mengulangi fakta tragis seperti revolusi berdarah pada masa awal dalam memperjuangkan sistem demokrasi. Namun, perjuangan memperkokoh demokrasi bukan perkara mudah karenanya butuh pertisipasi dari aneka pihak.

Pertama, elite politik. Elite politik diminta agar selalu menunjukan profesionalisme dan integritas tinggi dalam menjalankan tugasnya sebagai pemegang kekuasaan. Aristoteles menegaskan bahwa kekuasaan harus diarahkan untuk menciptakan keadilan sosial seluruh warga negara, bukan lokus strategis untuk memupuk kekayaan dan pencarian akan keluhuran personal penguasa atau kelompok tertentu [Rapar:1998].

Kedua, revolusi sistem partai politik. Partai politik harusnya menjadi tiang penyangah demokrasi, bukan rumah bagi para pembajak demokrasi. Partai politik harus melakukan kaderisasi yang ketat dan disiplin agar dapat menghasilkan calon-calon pemimpin yang berkualitas, bermoral, dan berpengetahuan di masa mendatang.  

Ketiga, supremasi hukum. Indonesia adalah negara hukum [rechtsstaat] bukan negara kekuasaan [machtstaat]. Ketika negara hukum disulap menjadi negara kekuasaan, maka bencana politik dan kemanusiaan seperti penindasan dan pemerasan niscaya tak terhindarkan. Kekuasaan harus sepenuhnya terikat pada hukum. Karena itu, para penegak hukum harus memastikan bahwa supremasi hukum berjalan dengan baik. Penegakan hukum sejatinya tidak boleh hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Trending Now:  PJ Gubernur Papua Selatan dan Bupati Asmat Resmikan RSUD Perpetua J Safanpo

Keempat, penguatan fungsi kontrol masyarakat sipil. Masyarakat sipil tidak boleh lelah dalam merealisasikan hak-hak politisnya. Hak bersuara dan berpendapat harus terus digemakan di ruang publik apabila elite politik tak lagi menderma kerja-kerja yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan cita-cita demokrasi. Dengan demikian, demokrasi tidak hanya diekspresikan di bibir, tapi harus tercermin dalam kesediaan birpikir dan bertindak demokratis.

Kelima, perlunya pendidikan demokratis. Dalam karyanya Democracy and Education [1916], Jhon Dewey,  Filsuf AS, mengemukakan adanya korelasi strategis pengalaman pedagogis dan demokrasi. Bagi Dewey, lembaga pendidikan merupakan filter menuju masyarakat yang lebih baik dan tercerahkan.

Pendidikan demokratis bukan hanya sebatas pengetahuan tentang teori demokrasi. Proses pembelajaran demokrasi harus dialami dalam kehidupan sehari-hari, dan niscaya terjadi melalui latihan praktis dalam solidaritas dan partisipasi kooperatif.

Pada akhirnya, sebagai buah perjuangan, dinamika demokrasi kita harus terus dikawal. Demokrasi kita tidak boleh mati di tangan elite politik egois. Sebab,  demokrasi yang sedang kita sanjung dan agung-agungkan tidak jatuh dari langit. Ia lahir dari situasi suram, mencekam, dan Ini butuh kerja sama yang baik antara para penguasa dengan segenap masyarakat Indonesia. Demokrasi kita harus dipastikan selalu hidup sehingga mimpi akan terciptanya komunitas politis yang baik, tenteram, dan bahagia akan terwujud.

Wilfridus Fon, Mahasiswa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif [IFTK] Ledalero, Maumere, NTT

You Might Also Like

Pernyataan Sikap Senator DPD RI Provinsi Papua Selatan Terkait Penembakan Warga Sipil oleh Oknum TNI di Kabupaten Asmat

Joseph Albin Gebze Tegas: “Saya Siap Jadi Penyalur Aspirasi Masyarakat Papua Selatan”

Joseph Albin Gebze Sah Jabat Wakil Ketua III DPR Papua Selatan Unsur Afirmasi

Jenazah Korban Penembakan di Asmat Hilang, Diduga Terbawa Arus Sungai

TAGGED: IFTK Ledalero, Wilfridus Fon
bungben 22/09/2025
Share this Article
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Telegram Email Print
What do you think?
Love0
Sad0
Happy0
Sleepy0
Angry0
Dead0
Wink0
Previous Article Bupati Intan Jaya Temui Direktur Smart Air, Bahas Solusi Transportasi Udara
Next Article Pemprov Papua Selatan Gelar Pendampingan Beasiswa LPDP dan Pelatihan Bahasa Asing
Leave a comment

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow US

Find US on Social Medias
Facebook Like
Twitter Follow
Youtube Subscribe
Telegram Follow
- Advertisement -
Ad imageAd image
- Advertisement -
Ad imageAd image
newsletter featurednewsletter featured

Weekly Newsletter

Kirim Email Anda agar bisa kami infokan berita pilihan terpopuler

Popular News
BERITAPPS

Ferdinandus Kainakaimu Resmi Jadi Sekda Papua Selatan

By Ronny Tiffa News 6 days ago
Gubernur dan Bupati Sambut Kedatangan Menteri LH di Bandara Mopah Merauke 
Pemprov Papua Selatan Gelar Pendampingan Beasiswa LPDP dan Pelatihan Bahasa Asing
Kopi Kasuari Resmi Diluncurkan, Pemprov Papua Selatan Harap Jadi Produk Unggulan
Mukerwil PPP Papua Selatan, Apolo Safanpo: Harus Solid dan Dekat dengan Rakyat

SUARNEWS.COM

about us

We influence 20 million users and is the number one business and technology news network on the planet.

  • BERITA
  • PON XX 2021
  • GALERI
  • KAMTIBMAS
  • NUSANTARA
  • PUSTAKA
  • GAYA HIDUP
  • JEJAK
  • SUARNEWS
  • INTAN JAYA
  • Susunan Redaksi
  • Tentang Kami
  • Contact
  • Privacy Policy
  • Disclaimer

Find Us on Socials

© TIFFANews Network. RAKA GENDIS.id Company. All Rights Reserved. Suar News

Removed from reading list

Undo
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?