TIFFA NEWSTIFFA NEWS
  • HOME
  • BERITA
  • OLAHRAGA
  • KAMTIBMAS
  • POLITIK
  • PPS
  • NUSANTARA
  • GALERI
  • OPINI
  • OTHERS
    • PUSTAKA
    • BUDAYA
    • EKONOMI
    • HANKAM
    • HAM
    • JEJAK
    • GAYA HIDUP
    • INTAN JAYA
    • SOSOK
Search
Reading: Upacara Tiang Bisj Sebagai Episteme Kepemimpinan: Menguak Nilai Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal
Share
TIFFA NEWSTIFFA NEWS
Search
  • HOME
  • BERITA
  • OLAHRAGA
  • KAMTIBMAS
  • POLITIK
  • PPS
  • NUSANTARA
  • GALERI
  • OPINI
  • OTHERS
    • PUSTAKA
    • BUDAYA
    • EKONOMI
    • HANKAM
    • HAM
    • JEJAK
    • GAYA HIDUP
    • INTAN JAYA
    • SOSOK
Have an existing account? Sign In
Follow US
© 2022 RAKA for Tiffa Company. All Rights Reserved.
TIFFA NEWS > News > OPINI > Upacara Tiang Bisj Sebagai Episteme Kepemimpinan: Menguak Nilai Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal
OPINI

Upacara Tiang Bisj Sebagai Episteme Kepemimpinan: Menguak Nilai Kepemimpinan Berbasis Kearifan Lokal

Last updated: 16/10/2025 - 06:37
By Ronny Tiffa News
Share
Upacara Tiang Bisj Suku Asmat.
SHARE

Oleh : Yohanis Elia Sugianto

Kepemimpinan di era modern seringkali dihadapkan pada sebuah paradoks fundamental, terutama di wilayah dengan matriks budaya yang kaya dan mengakar seperti Papua Selatan. Di satu sisi, ada tuntutan tata kelola pemerintahan yang teknokratis, efisien, dan terukur berdasarkan parameter pembangunan universal. Di sisi lain, terdapat realitas sosio-kultural masyarakat yang dunianya – Weltanschauung mereka – dibentuk oleh sistem pengetahuan, etika, dan kosmologi yang sama sekali berbeda. Kesenjangan epistemologis inilah yang seringkali menjadi muara dari kegagalan program pembangunan, resistensi kebijakan, dan alienasi antara pemimpin dengan masyarakat yang dipimpinnya. Visi dan misi yang dirumuskan dengan baik di atas kertas menjadi steril ketika tidak beresonansi dengan “tata bahasa” kebudayaan lokal.

Dalam tilikan pada Upacara Tiang Bisj Suku Asmat, mari kita membaca melalui lensa filsafat kebudayaan, kenyataan bahwa upacara budaya ini bukanlah sekadar sebuah ritual eksotis dari masa lampau, melainkan sebuah teks kebudayaan yang padat, yang di dalamnya terkandung sebuah episteme – sebuah kerangka pengetahuan dan sistem nilai – yang koheren mengenai kepemimpinan. Mengabaikan episteme ini adalah sebuah kekeliruan fatal bagi siapa pun yang berikhtiar memimpin dan membangun kesejahteraan di Papua Selatan. Melalui ulasan ini, upacara Tiang Bisj akan akan didekonstruksi guna usaha ekstraksi nilai-nilai kebajikan yang terkandung di dalamnya. Harapannya kesadaran atas kearifan lokal perihal kepemimpinan yang terkandung dalamnya, selanjutnya menjadi sebuah panggilan filosofis yang tak terhindarkan bagi para pemimpin kontemporer.

Dekonstruksi Upacara Tiang Bisj sebagai Teks Kebudayaan

Secara harfiah, Upacara Tiang Bisj adalah ritual untuk mengantarkan arwah mereka yang meninggal secara tidak wajar ke alam baka (safan). Namun, bagi seorang filsuf kebudayaan, fungsi ini hanyalah lapisan permukaan. Menggunakan kerangka pemikiran Ernst Cassirer, manusia adalah animal symbolicum, hewan yang hidup dalam jejaring makna simbolis yang ia ciptakan sendiri. Upacara Bisj adalah salah satu “bentuk simbolis” (symbolic form) paling kuat di mana masyarakat Asmat tidak hanya menjalankan ritual, tetapi juga memahami, menafsirkan, dan menegaskan kembali konsepsi mereka tentang keadilan, tanggung jawab, dan tatanan kosmos.

Tiang Bisj itu sendiri adalah sebuah kosmogram vertikal. Ia adalah axis mundi yang menghubungkan tiga dunia: dunia bawah (akar pohon sebagai perahu arwah), dunia tengah (figur-figur leluhur yang hidup), dan dunia atas (puncak tiang sebagai simbol kesuburan dan keberlanjutan hidup). Upacara ini adalah sebuah drama sakral yang bertujuan untuk memulihkan homeostasis atau keseimbangan kosmik yang terganggu oleh kematian. Kematian yang tidak wajar menciptakan “utang” spiritual yang harus dilunasi oleh yang hidup agar harmoni alam semesta pulih.

Trending Now:  Buka-Tutup Sistem Pemilu yang Proporsional

Dari sini, kita dapat melihat bahwa konsep “masalah” dan “solusi” dalam episteme Asmat bersifat holistik dan komunal. Masalah (kematian dan ketidakseimbangan) bukanlah problem individu atau keluarga, melainkan luka pada tubuh komunal dan kosmik. Solusinya (Upacara Bisj) pun harus bersifat kolektif, sebuah tindakan penebusan yang melibatkan seluruh komunitas. Pemahaman mendalam atas logika kultural ini adalah titik berangkat untuk merumuskan kepemimpinan yang relevan.

Ekstraksi Kebajikan Lokal sebagai Fondasi Etis Kepemimpinan

Jika Upacara Tiang Bisj adalah teksnya, maka di dalamnya terkandung setidaknya lima kebajikan fundamental yang dapat dan harus menjadi fondasi etis kepemimpinan:

  • Tanggung Jawab Sakral (Sacred Responsibility): Kepemimpinan modern sering dipandang sebagai kontrak sosial atau mandat elektoral. Dalam episteme Bisj, kepemimpinan adalah sebuah kovenan sakral. Sebagaimana komunitas memiliki tanggung jawab yang tak dapat ditawar untuk menenangkan arwah leluhur, seorang pemimpin memiliki tanggung jawab suci untuk memastikan kesejahteraan rakyatnya. Ini mengubah paradigma dari “hak untuk memerintah” menjadi “kewajiban suci untuk melayani”. Kebijakan bukan lagi sekadar program, melainkan ritual untuk menunaikan amanah leluhur dan generasi mendatang.
  • Keberanian Kolektif (Collective Courage): Ritual Bisj secara historis berfungsi membangkitkan keberanian kolektif untuk berperang. Dalam konteks modern, “perang” ini bertransformasi. Seorang pemimpin yang ideal harus memiliki keberanian kolektif untuk melawan “musuh-musuh” baru: kemiskinan struktural, ketidakadilan agraria, eksploitasi sumber daya alam, dan marginalisasi budaya. Keberanian ini bukan untuk kejayaan pribadi, melainkan keberanian untuk menjadi perisai (jemes) bagi komunitasnya.
  • Keadilan Restoratif (Restorative Justice): Sistem hukum modern cenderung bersifat retributif (menghukum pelaku). Upacara Bisj mengajarkan sebuah keadilan yang bersifat restoratif, yaitu memulihkan keseimbangan. Keadilan bukan soal menang atau kalah, tetapi soal pulihnya harmoni. Bagi seorang pemimpin, kebajikan ini termanifestasi dalam kebijakan yang tidak menciptakan pemenang dan pecundang. Pembangunan harus merangkul semua, memastikan distribusi sumber daya yang adil, dan menyelesaikan konflik dengan musyawarah yang memulihkan relasi sosial, bukan memperdalam luka.
  • Solidaritas Empatik (Emphatic Solidarity): Selama prosesi Bisj, seluruh komunitas larut dalam duka dan harapan yang sama. Tidak ada individu yang berdiri di luar lingkaran komunal. Seorang pemimpin yang ideal harus mempraktikkan solidaritas empatik ini. Ia harus mampu merasakan denyut nadi kehidupan rakyatnya, memahami penderitaan mereka bukan sebagai data statistik, melainkan sebagai luka pada tubuhnya sendiri. Kepemimpinan yang berjarak dan elitis adalah antitesis dari nilai ini.
  • Visi Generasional (Generational Vision): Filosofi di balik melarungkan tiang Bisj untuk membusuk dan menyuburkan kebun sagu adalah puncak kearifan ekologis dan generasional. Masa lalu (leluhur) memberi makan masa depan (generasi mendatang) melalui masa kini (ritual). Ini adalah antitesis dari logika pembangunan jangka pendek yang eksploaktif. Seorang pemimpin yang bijak adalah ia yang “menanam pohon sagu”, yang kebijakannya mungkin tidak populer hari ini, tetapi menjamin kehidupan dan kesejahteraan bagi anak-cucu di masa depan. Ia memimpin bukan untuk pemilu berikutnya, tetapi untuk generasi berikutnya.
Trending Now:  "Gereja untuk Papua": Menenun Damai, Merawat Kebinekaan dari Ujung Timur Indonesia

Dialektika Tradisi dan Modernitas: Menolak Dikotomi Palsu

Akan selalu ada argumen bahwa nilai-nilai ini “tradisional” dan tidak lagi relevan di tengah arus modernisasi. Argumen ini lahir dari sebuah dikotomi palsu antara tradisi (etos) dan modernitas (tekné). Filsafat kebudayaan mengajarkan bahwa modernitas yang sehat bukanlah yang mencabut sebuah masyarakat dari akar budayanya, melainkan yang mampu melakukan dialektika kreatif antara keduanya.

Etos yang terkandung dalam upacara Tiang Bisj bukanlah seperangkat aturan usang, melainkan kerangka moral dan filosofis yang memberi makna pada tindakan. Tekné pemerintahan modern – seperti perencanaan anggaran, teknologi digital, dan manajemen birokrasi – adalah alat. Menggunakan alat-alat modern tanpa dilandasi oleh etos yang berakar pada budaya lokal adalah seperti membangun rumah dengan material canggih di atas fondasi yang rapuh. Rumah itu mungkin terlihat megah, tetapi ia akan mudah runtuh karena tidak berpijak pada “tanah” epistemologis masyarakatnya. Visi dan misi pembangunan yang ditolak rakyat seringkali bukan karena substansinya keliru, tetapi karena cara penyampaian dan kerangka logikanya terasa asing dan mengancam etos komunal masyarakat.

Panggilan Filosofis: Menuju Kepemimpinan Etnografis

Maka, sampailah kita pada sebuah panggilan filosofis yang tak dapat diabaikan bagi setiap pemimpin, baik di level pemerintahan, adat, maupun agama, di Papua Selatan. Panggilan ini bukanlah untuk menolak kemajuan atau kembali ke masa lalu secara romantis. Ini adalah panggilan untuk menjadi seorang pemimpin-etnograf: seorang pemimpin yang bersedia dan mampu “membaca” teks-teks kebudayaan rakyatnya sendiri dengan kerendahan hati dan kedalaman intelektual.

Menjadi pemimpin-etnograf berarti:

  • Mengakui Batas Pengetahuan: Menyadari bahwa model kepemimpinan dan pembangunan dari luar memiliki keterbatasan dan seringkali buta terhadap kearifan lokal.
  • Mendengarkan Secara Filosofis: Mendengar bukan hanya aspirasi politik atau kebutuhan ekonomi, tetapi juga mendengarkan kosmologi, etika, dan cara pandang dunia yang mendasari aspirasi tersebut.
  • Menerjemahkan Kebijakan: Mampu menerjemahkan bahasa teknokratis kebijakan ke dalam bahasa simbolis dan nilai-nilai budaya yang dipahami dan dihayati masyarakat. Program pengentasan kemiskinan, misalnya, harus dibingkai dalam narasi solidaritas komunal, bukan kompetisi individual.
  • Menyelaraskan Visi dengan Weltanschauung: Memastikan bahwa visi kemajuan (“Papua Selatan yang Sejahtera”) tidak bertentangan dengan konsepsi lokal tentang “kesejahteraan”, yang mungkin lebih menekankan pada harmoni komunal dan kelestarian alam ketimbang akumulasi materiil semata.
Trending Now:  Messi atau Mbappe, Ujian Berat Juarai Bola Dunia 2022

Panggilan ini bersifat abadi karena ia tidak terikat oleh zaman. Selama manusia Papua Selatan masih mewarisi – sadar atau tidak – episteme yang diwariskan leluhurnya, maka setiap upaya kepemimpinan harus bergulat dan berdamai dengan episteme tersebut. Inilah satu-satunya jalan agar visi dan misi pembangunan dapat diterima secara tulus, didukung secara penuh, dan pada akhirnya, benar-benar menyejahterakan.

Tiang Bisj lebih dari sekadar mahakarya seni ukir atau sebuah ritual kuno. Ia adalah sebuah kompas etis dan sebuah manifesto filosofis tentang kepemimpinan. Ia mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati berakar pada tanggung jawab sakral, dimanifestasikan dalam keberanian kolektif, beroperasi di atas keadilan restoratif, dihidupi oleh solidaritas empatik, dan dipandu oleh visi generasional.

Bagi seorang pemimpin di Papua Selatan, perjalanan politik yang paling menentukan bukanlah lobi di tingkat nasional atau perebutan anggaran, melainkan perjalanan ke dalam – ke jantung filosofi kebudayaan rakyatnya sendiri. Dengan memahami dan menghayati episteme yang terkandung dalam warisan seperti Upacara Tiang Bisj, ia tidak hanya akan menjadi seorang administrator yang efektif, tetapi juga seorang pemimpin yang otentik dan dicintai, yang mampu membawa kemajuan sejati karena ia berpijak kuat pada jiwa masyarakatnya. Tuhan kiranya memberkati dan leluhur mendoakan senantiasa mereka yang berkehendak baik pada tanah dimana kaki dipijak.

Daftar Pustaka

Cassirer, E. (1944). An Essay on Man: An Introduction to a Philosophy of Human Culture. Yale University Press.

Gerbrands, A. A. (1967). Wow-Ipits: Eight Asmat Woodcarvers of New Guinea. Mouton & Co.

Konrad, G., & Konrad, U. (Eds.). (1996). Asmat: Myth and Ritual: The Inspiration of Art. Erizzo Editrice.

Schneebaum, T. (1985). Asmat: Life with the Ancestors. The University of Queensland Press.

 

You Might Also Like

Merawat Akar, Menumbuhkan Masa Depan: Kontekstualisasi Pekan Budaya Papua Selatan Sebagai Fondasi Peradaban Berkelanjutan

Gereja Papua Di Persimpangan Jalan: TUR Para Imam Sebagai Kairos Menuju Misi Inkulturatif Dan Profetik Di Era Otonomi Baru

Ferdinandus Kainakaimu, Fajar Harapan Birokrasi di Papua Selatan*

Selamat Bertugas Sekretaris Daerah Provinsi Papua Selatan

Ronny Tiffa News 16/10/2025
Share this Article
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Telegram Email Print
What do you think?
Love0
Sad0
Happy0
Sleepy0
Angry0
Dead0
Wink0
Previous Article Merawat Akar, Menumbuhkan Masa Depan: Kontekstualisasi Pekan Budaya Papua Selatan Sebagai Fondasi Peradaban Berkelanjutan
Next Article Gubernur Apolo Lantik Bupati dan Wakil Bupati Boven Digoel
Leave a comment

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow US

Find US on Social Medias
Facebook Like
Twitter Follow
Youtube Subscribe
Telegram Follow
- Advertisement -
Ad imageAd image
- Advertisement -
Ad imageAd image
newsletter featurednewsletter featured

Weekly Newsletter

Kirim Email Anda agar bisa kami infokan berita pilihan terpopuler

Popular News
BERITAPPS

Papua Selatan Luncurkan SIAK Plus OAP, Data Otsus Kini Lebih Akurat !

By Ronny Tiffa News 6 days ago
PMI Hidupkan Semangat Olahraga dan Budaya Papua Lewat Yospan, Fun Run, dan Gerak Jalan
Gubernur Papua Selatan Imbau Warga Waspada Penipuan Sayembara di Media Sosial
Epistemologi Kegagalan dan Kedaulatan Digital: Refleksi Filsafati atas Kasus Bjorka dan Institusi Polri
Polres Merauke Dukung Swasembada Pangan Lewat Penanaman Jagung Kuartal IV

SUARNEWS.COM

about us

We influence 20 million users and is the number one business and technology news network on the planet.

  • BERITA
  • PON XX 2021
  • GALERI
  • KAMTIBMAS
  • NUSANTARA
  • PUSTAKA
  • GAYA HIDUP
  • JEJAK
  • SUARNEWS
  • INTAN JAYA
  • Susunan Redaksi
  • Tentang Kami
  • Contact
  • Privacy Policy
  • Disclaimer

Find Us on Socials

© TIFFANews Network. RAKA GENDIS.id Company. All Rights Reserved. Suar News

Removed from reading list

Undo
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?