Oleh : Emanuel Eman Riberu
Musyawarah Daerah atau Musda I Ikatan Keluarga Flobamora (IKF) Provinsi Papua Selatan yang digelar pada Rabu, 15 Oktober 2025 di Hotel Halogen, Merauke, menjadi tonggak sejarah baru — sekaligus membuka ruang perdebatan serius dan ruang refleksi sosial bagi kalangan masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) yang bermukim di wilayah Papua Selatan.
Dalam forum itu, Wakil Gubernur Papua Selatan, Paskalis Imadawa, terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum pertama Ikatan Keluarga Flobamora Papua Selatan periode 2025–2030.
Berita resmi menyebutkan bahwa pemilihan tersebut merujuk pada AD/ART IKF Bab XII Pasal 23 poin 2, yang membuka peluang bagi seseorang menjadi anggota atau pengurus karena hubungan perkawinan. (Sumber: Redaksi22.com, 15 Oktober 2025)
Namun, di balik legitimasi formal itu, muncul pertanyaan yang menggugah nurani. Apakah Flobamora masih menjadi rumah identitas orang NTT? Ataukah kini menjadi ruang politik simbolik yang kehilangan makna kulturalnya?
Budaya sebagai Jati Diri, Bukan Alat Kepentingan
Sebagai bagian dari masyarakat NTT, saya merasa perlu menyampaikan pandangan ini bukan untuk menilai dan atau mendiskreditkan siapa pun, tetapi untuk mengajak kita semua merenung.
NTT bukan sekedar gugusan pulau di timur Indonesia, tetapi kumpulan ruang nilai dan identitas yang hidup. Kita berasal dari 21 kabupaten dan 1 kota, lebih dari 500 pulau, 45 suku, dan 72 bahasa daerah.
Dari Flores, Sumba, Timor, Sawu, Rote, Ndao, Adonara, Lembata, Alor hingga lainnya, kita diikat oleh filosofi hidup yang berpijak pada keseimbangan antara manusia, alam dan Sang Pencipta. Itulah tungku tiga batu.
Budaya adalah jantung eksistensi kita. Ia bukan alat politik identitas. Ketika organisasi berbasis etnis dipimpin oleh figur yang tidak lahir dari rahim budaya itu, kita menghadapi ambiguitas kultural — antara semangat keterbukaan dan kehilangan makna dasar.
Apakah pemimpin itu memahami filosofi “Ina ama ana-ana” (ibu bapak dan anak-anak), “koe ma lima”, “tungku telu”, atau simbol-simbol nilai yang menandai ke-NTT-an kita?
Memahami saja tidak cukup; nilai-nilai itu harus mendarah daging, harus dihidupi. Bukan sekadar dijadikan dasar legitimasi sosial atau politik.
Dinamika Sosial yang Perlu Dikelola dengan Arif
Tujuan awal Ikatan Keluarga Flobamora sebagai wadah pemersatu bisa berbalik arah jika kepemimpinan ini tidak dikelola dengan sensitivitas sosial dan budaya.
Di media sosial, mulai muncul perdebatan antara kelompok masyarakat. Dinamika sosial ini muncul di internal komunitas Flobamora maupun dalam relasi antara sebagian warga NTT dan kelompok masyarakat yang lain.
Lebih jauh lagi, sebagian warga NTT merasa bahwa keputusan ini mencederai harga diri kolektif. Ketika organisasi yang lahir dari darah dan air mata perantauan justru dikendalikan oleh orang luar yang tidak memahami denyut budayanya.
Ada kesan bahwa politik kekuasaan telah menunggangi wadah kebudayaan, dan di situlah luka moral mulai terasa.
Namun demikian kita harus bisa mengelola situasi ini dengan arif, sehingga dapat meminimalisir gesekan identitas dan kecemburuan sosial. Jika tidak diredam, bisa berkembang menjadi konflik simbolik dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Inklusivitas Harus Berpijak pada Sensitivitas Budaya
Tak ada yang salah dengan semangat inklusif. Flobamora memang harus terbuka terhadap siapa pun yang ingin membangun kebersamaan lintas etnis di Tanah Papua Selatan.
Namun, inklusivitas tanpa sensitivitas budaya adalah formalisme kosong. Ia tampak seperti jembatan, tapi sesungguhnya rapuh di pijakan.
Kepemimpinan lintas identitas bisa diterima, asal dijalankan dengan penghormatan penuh terhadap nilai-nilai kultural, bukan sekadar legitimasi administratif.
Kalau tidak, maka organisasi akan kehilangan arah dan berubah menjadi sekadar jaringan sosial beraroma kekuasaan.
Langkah Reflektif ke Depan
Agar polemik ini menjadi pelajaran, bukan perpecahan, ada beberapa hal penting yang perlu dilakukan:
1. Meninjau kembali AD/ART IKF — agar ketentuan soal kepemimpinan berdasarkan hubungan perkawinan tidak disalahgunakan.
2. Membentuk Dewan Budaya Flobamora Papua Selatan — beranggotakan tokoh-tokoh adat dari tiap kabupaten/kota asal NTT sebagai penjaga nilai-nilai budaya.
3. Menegaskan kembali misi IKF sebagai lembaga sosial-budaya, bukan perpanjangan tangan kekuasaan politik.
4. Menggalang dialog lintas komunitas (NTT dan kelompok masyarakat lain) agar semangat persaudaraan sejati tidak digantikan oleh rasa curiga dan rivalitas simbolik.
Penutup Reflektif
Kita boleh berbeda pandangan, tetapi tidak boleh kehilangan arah.
Kita boleh beradaptasi dengan ruang sosial baru, tetapi tidak boleh menggadaikan jati diri kita.
Flobamora dibangun dari semangat “satu rasa, satu hati, satu asal”.
Kalau identitas itu mulai kabur, maka rumah besar kita akan kehilangan nyawanya.
Semoga polemik ini menjadi pengingat, bahwa persaudaraan sejati bukan diukur dari siapa yang berkuasa, tetapi dari siapa yang paling setia menjaga nilai, martabat, dan budaya asalnya.
Tentang Penulis:
Emanuel Eman Riberu, S.I. Kom., adalah Jurnalis Jubi di Merauke, anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan pemuda asal Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sumber rujukan:
Redaksi22.com – “Paskalis Imadawa Didaulat Sebagai Ketua Umum Flobamora Papua Selatan”, 15 Oktober 2025.
(https://redaksi22.com/2025/10/15/paskalis-imadawa-didaulat-sebagai-ketua-umum-flobamora-papua-selatan/)