TIFFANEWS.CO.ID — Menjelang akhir tahun 2025, realisasi Dana Otonomi Khusus (Otsus) Provinsi Papua Selatan menunjukkan capaian yang sangat menggembirakan. Berdasarkan laporan pemerintah daerah yang dipantau Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP), penyerapan dana Otsus hampir mencapai 90 persen. Tahun sebelumnya bahkan berhasil menyentuh angka 98 persen.
Kepala BP3OKP Papua Selatan, Yoseph Yolmen, dalam wawancara dengan Tiffa News pada Kamis (13/11/2025), menjelaskan bahwa capaian ini merupakan bukti komitmen Pemerintah Provinsi Papua Selatan dalam mengupayakan percepatan pembangunan daerah.
“Tadi saya selesai berdiskusi dengan Bapak Gubernur Papua Selatan. Selain membahas progres pembangunan Kantor Gubernur, DPR, dan MRP, kami juga meninjau realisasi dana Otsus yang hampir 90 persen. Ini capaian luar biasa,” ungkapnya.
Namun di balik capaian tersebut, Yoseph mengungkapkan keresahan pemerintah daerah terkait adanya rencana pemotongan anggaran oleh pemerintah pusat. Informasi mengenai pemotongan ini sebenarnya sudah diterima sejak Januari 2025, ketika diketahui bahwa dana Otsus Papua Selatan dipangkas sebesar Rp500 miliar. Pemkab Merauke juga disebut mendapat pemotongan sekitar Rp400 miliar.
Menanggapi hal itu, BP3OKP langsung menyurati Menteri Dalam Negeri melalui Wakil Menteri Dalam Negeri, dan pada Februari melakukan audiensi bersama DPR Papua Selatan, Wakil Ketua I, dan Ketua II.
“Kami sampaikan dengan tegas bahwa Papua Selatan ini daerah otonomi baru. Ketika anggaran dipotong, dampaknya sangat besar terhadap percepatan pembangunan,” tegas Yoseph.
Ia menggambarkan bahwa jika pemerintah ingin Papua setara dengan daerah-daerah yang telah mapan seperti Jakarta atau Maluku, maka diperlukan dukungan dana yang lebih besar.
“Ibarat kendaraan, kalau yang di depan sudah 100 km/jam, untuk menyalip kita harus 140 atau 160 km/jam. Kalau Papua diberi Rp1 triliun, untuk percepatan idealnya dinaikkan jadi Rp4 triliun atau Rp10 triliun. Jangan justru dipotong,” jelasnya.
Menurut Yoseph, kebijakan efisiensi tidak boleh menekan daerah DOB seperti Papua Selatan yang masih berjuang membangun infrastruktur dasar. Dana Otsus dan DAK semestinya tidak saling menggantikan. Ia mencontohkan jika sebelumnya Papua mendapat Rp100 juta dari DAK dan Rp100 juta dari Otsus, seharusnya total menjadi Rp200 juta, bukan salah satunya dihilangkan.
“Untuk daerah yang sudah mapan mungkin cukup. Tapi bagi Papua, dana sebesar itu belum memenuhi kebutuhan dasar masyarakat,” tambahnya.
Kebutuhan Mendesak: Rumah Layak dan Peningkatan SDM
Yoseph juga menyoroti kondisi perumahan rakyat di Papua Selatan yang masih sangat terbatas. Banyak warga tinggal berdesakan dalam satu rumah bersama empat hingga lima keluarga.
Untuk menjawab persoalan tersebut, BP3OKP bertemu Menteri Transmigrasi pada 3 November lalu. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa setiap provinsi di Tanah Papua akan mendapatkan 2.000 unit rumah transmigrasi lokal lengkap dengan modal usaha dan biaya hidup selama dua tahun.
Tak hanya itu, BP3OKP juga mendorong peningkatan kapasitas generasi muda Papua melalui pelatihan di Balai Latihan Kerja (BLK). Mereka akan dipersiapkan menjadi tenaga terampil seperti operator alat berat, montir, teknisi AC, hingga pekerja konstruksi.
“Ini bagian dari tugas kami bekerja sama dengan kementerian dan OPD terkait. Generasi muda Papua harus siap bersaing,” ujarnya.
Semua persoalan terkait pemotongan anggaran dan kebutuhan percepatan pembangunan Papua Selatan rencananya juga akan disampaikan langsung kepada Wakil Presiden RI pada pertemuan 26 November di Jakarta.
“Kami harus menjemput bola. Dengan kondisi pemotongan seperti ini mustahil pembangunan berjalan optimal. Pemerintah pusat perlu mengkaji ulang kebijakan efisiensi yang justru memperlambat DOB seperti Papua Selatan,” tutup Yoseph. (JW)




