Oleh : Ronny Imanuel Rumboy, ST. (Penulis)
Ambisi adalah bahan bakar paling tua dalam sejarah manusia, lebih tua dari kopi, lebih tua dari politik, bahkan mungkin lebih tua dari alasan-alasan klasik yang sering kita pakai saat ditanya, “Kapan selesai tugasnya?” Pada titik tertentu, setiap manusia hidup dengan semacam kompas yang menunjuk pada sesuatu yang dianggap penting. Ada yang mengejar kekuasaan, ada yang mengejar ilmu, ada yang mengejar validasi sosial, dan ada juga yang sekadar mengejar WiFi stabil.
Dalam psikologi, ambisi bukan sekadar “ingin sesuatu”, tetapi dorongan yang cukup kuat untuk menggerakkan keputusan-keputusan besar. Ryan & Deci dalam Self-Determination Theory (Ryan & Deci – Self-Determination Theory: Basic Psychological Needs in Motivation, Development, and Wellness) menggambarkan bahwa manusia bergerak paling sehat ketika kebutuhan autonomi, kompetensi, dan keterhubungan terpenuhi. Namun, teori itu tidak menjelaskan secara penuh kenapa manusia kadang mengejar ambisi aneh, seperti ingin menjadi viral di TikTok dengan tantangan yang tidak ada unsur keselamatan kerja sedikit pun. Ambisi itu, rupanya, bukan hanya soal kebutuhan dasar, tetapi soal imajinasi dan ego.
Ego ini, dalam banyak kasus, lebih kuat daripada logika. Kita sering bermimpi besar tanpa memikirkan kemampuan, kondisi, atau probabilitas. Ini bukan salah siapa-siapa; manusia memang spesies yang penuh harapan, sekaligus penuh delusi yang kreatif. Namun justru di situ keindahan dan kekacauannya: manusia bisa membangun pesawat seperti Wright bersaudara, tetapi manusia yang sama juga bisa membangun Theranos seperti Elizabeth Holmes, yang tiap presentasi mungkin terdengar seperti plot film fiksi ilmiah yang terlalu percaya diri. (John Carreyrou – Bad Blood)
Ambisi, pada akhirnya, selalu berada di persimpangan antara idealisme dan kenyataan. Contohnya Nelson Mandela. Ambisinya bukan soal menang pemilu atau memperoleh kuasa, tetapi membongkar sistem apartheid yang sudah mengakar seperti rumput liar. Dalam artikel Nelson Mandela – Long Walk to Freedom, dirinya membayar harga yang mahal: 27 tahun penjara. Tapi ketika keluar, ia tidak menjadikan ambisi itu sebagai alat balas dendam. Inilah yang jarang terjadi pada manusia: ambisi besar yang tidak berubah menjadi racun ketika kekuasaan akhirnya berada dalam genggaman.
Namun tidak semua kisah ambisi ada di langit moralitas. Lihat Napoleon Bonaparte. Ia memiliki kecerdasan strategis luar biasa, pengaruh besar, dan ketegasan yang mungkin membuat grup WhatsApp keluarga jadi sangat tertib jika ia jadi admin. Tapi ambisinya tumbuh lebih cepat dari kemampuan mengelola batasan. Ia menaklukkan hampir seluruh Eropa, tapi kemudian ingin lebih jauh lagi, sampai akhirnya tersandung oleh cuaca, logistik, dan… realitas.
Dari semua contoh itu, saya sering berpikir: apakah ambisi itu sesuatu yang kita kendalikan, atau sebenarnya ia yang mengendalikan kita? Karena dalam hidup nyata, banyak orang terpeleset bukan saat mengejar tujuan, tetapi saat tujuan itu sudah dekat dan mereka lupa memasang rem. Ambisi sering memberi energi luar biasa, tapi sekaligus membuat manusia percaya bahwa mereka kebal dari kesalahan. Bahkan Steve Jobs, tokoh inovasi yang genius itu, dikenal sangat keras kepala. Ia punya intuisi desain yang brilian, tetapi gaya kepemimpinan awalnya kadang seperti perpaduan antara perfeksionisme dan badai tropis. Hasil akhirnya luar biasa, tetapi perjalanan menuju sana penuh gelombang.
Di sisi lain, ada manusia yang ambisinya terlihat sederhana tetapi dampaknya luar biasa. Malala Yousafzai, misalnya, hanya ingin perempuan mendapat hak pendidikan. Namun ambisi yang terlihat sederhana itu tumbuh menjadi gerakan global. Yang menarik dari Malala bukan hanya keberaniannya, tetapi kejujurannya dalam mendeskripsikan motivasinya, ambisi yang bersumber dari kebutuhan moral, bukan dari ego.
Kalau saya pikir-pikir, ambisi itu seperti sungai: pasti mengalir, tapi arah dan bentuknya ditentukan oleh tepian. Manusia yang sepanjang hidupnya dikelilingi pujian berlebihan cenderung mengalami ambisi yang liar, tidak terkontrol, dan kadang menganggap dirinya sebagai pengecualian dari semua aturan. Ini sering disebut delusional superiority. Pada level ekstrem, jadilah dicontohkan oleh para pemimpin yang membuat keputusan tanpa dengar masukan, karena yakin mereka selalu benar.
Sebaliknya, manusia yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh kritik atau kegagalan, sering memiliki ambisi yang matang, penuh pertimbangan, dan lebih lentur. Inilah konsep growth mindset dari Carol Dweck (Carol S. Dweck – Mindset: The New Psychology of Success / link: https://mindsetonline.com). Ambisi dalam kerangka ini tidak meledak-ledak, tapi tumbuh pelan, stabil, dan bisa bertahan menghadapi tekanan.
Tentu, teori-teori psikologi ini bagus, tetapi realitas di lapangan sering lebih kacau. Banyak orang akhirnya mengejar ambisi karena faktor sosial: ingin membuktikan diri, ingin diakui, ingin dianggap berharga. Ini bukan hal buruk; manusia memang makhluk sosial. Namun ambisi menjadi masalah ketika ia menjadi sumber identitas. Ketika seseorang hanya merasa berharga jika ia mencapai sesuatu, maka kegagalan kecil pun bisa terasa seperti kiamat personal.
Viktor Frankl dalam Man’s Search for Meaning mengatakan bahwa makna adalah kompas paling kuat bagi manusia. Ambisi tanpa makna adalah seperti GPS yang baterainya tinggal 2% di tengah hutan; bisa hidup, tetapi tidak tahu arah. Ketika ambisi memiliki makna, ia menjadi energi, bukan beban.
Dalam buah pikir saya sendiri, ambisi itu bukan harus dipangkas, tetapi harus dimanusiakan. Kita terlalu sering diajarkan untuk “mengejar mimpi setinggi mungkin”, tapi jarang diajarkan cara jatuh dengan elegan. Kita terlalu sering dimotivasi untuk menjadi “yang terbaik”, tapi jarang dimotivasi untuk menjadi “cukup baik dan tetap waras”. Padahal, ambisi yang sehat tidak selalu gemerlap; kadang ia berupa keputusan kecil untuk terus belajar, memperbaiki diri, dan tetap punya hati di tengah kompetisi.
Ambisi yang baik bukan tentang seberapa jauh kita berlari, tetapi seberapa jujur kita dengan tujuan yang kita kejar. Ada orang yang mengejar jabatan karena ingin perubahan, ada yang mengejar karena ingin status, dan ada juga yang mengejar karena… semua teman seangkatannya sudah dapat jabatan. Tidak ada yang salah, tetapi hanya ambisi dengan alasan yang jujur yang akan bertahan lama.
Pada akhirnya, manusia hidup di antara mimpi dan realitas. Ambisi adalah jembatan, tetapi kualitas jembatan itu ditentukan oleh nilai, kemampuan mengelola diri, dan keberanian mengakui batas. Jika ambisi membuat kita buta, kita tersesat. Jika ambisi membuat kita melihat lebih jauh, itu berkah.
Dan jika ambisi sesekali membuat kita tertawa pada diri sendiri, itu pertanda kita masih manusia, bukan mesin.




