TIFFANEWS.CO.ID – Wakil Gubernur Papua Selatan, Paskalis Imadawa, menyuarakan urgensi reformasi pendidikan di wilayah timur Indonesia dengan mendorong sistem pendidikan berpola asrama. Hal itu disampaikannya saat menjadi narasumber dalam Podcast STIPAN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Abdi Negara) Channel di Jakarta, Sabtu (23/5/2025).
Dalam perbincangan yang berlangsung hangat namun penuh kritik membangun, Paskalis menyoroti buruknya kualitas pendidikan anak-anak Papua akibat pendekatan pendidikan nasional yang tidak sesuai dengan konteks budaya lokal.
“Banyak anak-anak Papua justru mundur kualitasnya saat masuk SD, SMP, SMA karena guru tidak bisa mendidik dengan pendekatan budaya. Di tempat kami, kadang harus ditegur keras dulu baru mereka dengar. Tapi sekarang, guru tidak bisa lakukan itu karena aturan nasional yang tidak sesuai dengan konteks kami,” ungkapnya.
Menurut Paskalis, solusi utama untuk mengatasi persoalan ini adalah membangkitkan kembali pendidikan berpola asrama. Ia menyebut sistem ini sebagai pendekatan menyeluruh yang tidak hanya menekankan aspek akademik, tetapi juga membentuk karakter, nasionalisme, dan disiplin yang kuat.

“Satu-satunya cara adalah pendidikan berpola asrama. Kalau tidak kita mulai sekarang, tahun 2045 bukan Indonesia Emas yang kita hadapi, tapi Indonesia Jemaat—bangsa yang kumpul tapi tidak bergerak,” tegasnya.
Ia menambahkan, Pemerintah Provinsi Papua Selatan telah memasukkan program pendidikan asrama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan visi-misi pembangunan. Sebagai langkah awal konkret, pemerintah daerah telah mengalokasikan dana sebesar Rp100 juta untuk mendukung pembangunan asrama mahasiswa Papua Selatan di STIPAN Jakarta.
Masih dalam konteks pendidikan, Paskalis turut mengkritik kebijakan seragam sekolah nasional yang menurutnya tidak mengakomodasi nilai-nilai lokal. Ia menilai pendekatan pendidikan yang terlalu seragam justru menjauhkan Papua dari rasa memiliki terhadap Indonesia.
“Kalau Jakarta ingin Papua mencintai Indonesia, maka cintailah Papua dengan pendekatan yang mengerti budaya kami,” ujarnya.
Paskalis juga menyoroti ketidaksesuaian kurikulum nasional dan minimnya fasilitas digital di Papua yang menyebabkan guru dan murid semakin tertinggal. Ia menyebut sistem pendidikan saat ini cenderung sentralistik dan gagal memahami realitas di lapangan.
Dalam podcast tersebut, Paskalis menjadikan momen ini sebagai ruang jujur untuk menyampaikan suara hati dari Timur Indonesia. Ia menekankan bahwa Papua tidak ingin dilihat hanya sebagai objek pembangunan, tetapi sebagai bagian utuh dari bangsa ini yang dihargai dan dipahami.
“Papua tidak butuh senjata. Papua tidak butuh uang. Yang dibutuhkan Papua adalah manajemen hati,” tegasnya.
Paskalis mengakhiri dengan harapan agar pendekatan terhadap Papua tak lagi militeristik dan birokratis, melainkan dilandasi oleh empati, kepercayaan, dan kemanusiaan. Podcast ini, menurutnya, bukan sekadar media, tapi panggung kejujuran dan jembatan menuju Indonesia yang inklusif dan setara. (Ron)