TIFFANEWS.CO.ID – Audiensi sengit terjadi antara Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Provinsi Papua Selatan, Albert Rapami, dan sekelompok pencari kerja yang memprotes hasil seleksi CPNS tahun 2024. Dalam pertemuan yang juga dihadiri Wakil Gubernur Papua Selatan, perdebatan memuncak saat peserta audiensi mendesak penundaan hasil seleksi dengan tuduhan ketidaktransparanan dan diskriminasi terhadap Orang Asli Papua (OAP).
Albert Rapami menyampaikan dengan tegas bahwa seluruh proses seleksi CPNS, termasuk Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) dan Seleksi Kompetensi Bidang (SKB), dijalankan berdasarkan sistem nasional yang dikelola langsung oleh SSCASN (Sistem Seleksi Calon Aparatur Sipil Negara). Ia menegaskan, BKPSDM daerah tidak memiliki kewenangan mengubah atau memanipulasi nilai.
“Nilai peserta tidak kami pegang, dan tidak bisa kami otak-atik. Itu kewenangan pusat,” jelas Albert Rapami dalam audiens di Kantor Gubernur Papua Selatan, Selasa (15/7/2025).
Merespons kasus-kasus individual seperti atas nama Marcelino dan Meri yang diangkat para pencari kerja, Albert membuka penjelasan detail. Ia mengatakan bahwa Marcelino memang lulus passing grade pada tahap SKD, namun sistem tidak lagi menghitung nilai SKB-nya karena adanya aturan integrasi nasional. Sementara untuk formasi OAP, sistem kelulusan mengacu pada peringkat atau ranking, bukan semata passing grade, sesuai Keputusan MenPAN-RB Nomor 350 Tahun 2024 yang khusus diberlakukan untuk wilayah Papua.

Lebih lanjut, ia mempertanyakan para peserta audiensi yang menuduh adanya pelamar non-OAP yang lolos di formasi OAP tanpa menunjukkan bukti konkret.
“Saya sudah berkali-kali sampaikan, kalau betul ada 170 nama non-OAP yang lolos di formasi OAP, tolong tunjukkan datanya,” ucapnya.
Rapami mencontohkan kasus nama yang disebutkan dalam rapat DPR, Siti Handayani, yang ternyata memiliki garis keturunan dari suku Marind berdasarkan marganya, Samkakai. Hal itu dibuktikan dengan rekomendasi dari Majelis Rakyat Papua (MRP) — lembaga yang memang memiliki kewenangan untuk menentukan status OAP atau bukan.
Albert juga mengaku bahwa pengumuman hasil telah dibuka ke publik melalui berbagai kanal, termasuk YouTube dan grup WhatsApp, untuk memastikan transparansi.
Namun, yang menjadi catatan krusial adalah pernyataan Wakil Gubernur Papua Selatan yang justru menyarankan penghapusan sistem peringkat dan mendorong penggunaan penuh passing grade. Pendapat ini dianggap kontradiktif terhadap kebijakan afirmatif untuk OAP, karena sistem passing grade justru berpotensi menyulitkan pelamar OAP yang secara statistik sering kali tertinggal dari segi nilai kompetensi nasional.
Albert menegaskan kembali bahwa keputusan sistem seleksi merupakan hasil konsultasi dengan Kementerian PAN-RB dan mengikuti regulasi nasional, termasuk kebijakan khusus untuk Tanah Papua.
“Kami sudah minta secara resmi agar sistem seleksi di Papua memperhatikan konteks lokal. Oleh karena itu, lahirlah Keputusan MenPAN-RB Nomor 350. Jadi kalau ada yang bilang ini tidak adil, tunjukkan buktinya, kami siap buka semuanya,” tegas Albert menutup pernyataannya.
Polemik seputar seleksi CPNS di Papua Selatan mencerminkan ketegangan antara keinginan keterbukaan dan keadilan afirmatif dengan tudingan-tudingan yang kerap tak dibarengi data valid. Perlu ruang dialog yang sehat dan berbasis bukti agar aspirasi dan regulasi dapat berjalan beriringan demi masa depan ASN yang berintegritas di Tanah Papua. (Ronny)