TIFFANEWS.CO.ID,- Beredarnya iklan promosi tas modern bermotif Noken di media sosial, mendapat tanggapan dari pencentus Noken UNESCO Titus Pekei.
Titus Pekei, dalam rilisnya yang diterima media ini, Jumat (2/5/2025), mengatakan, produk tas modern bermotif noken, sama sekali tidak menghormati kearifan lokal masyarakat Papua juga tidak menghargai mama dan bapa pembuat Noken.
“Saya ditelpon oleh beberapa komunitas noken Papua, untuk meminta pendapat saya terkait tas yang mengambil motif noken. Iklan promosinya beredar di media sosial. Sepertinya oleh pembuat, mereka membeli noken, lalu menggunting dan menempelkan pada Tas itu,” kata Titus Pekei.
Menurut Titus Pekei, semestinya hal ini tidak boleh terjadi. Noken yang dikenal, adalah noken dengan bentuk dan ciri khas yang dibuat oleh mama dan bapa Papua. Tidak perlu lagi membuat model baru yang terlepas dari hasil cipta, karya dan karsa masyarakat Papua yang sudah diwariskan secara turun temurun.
Dari model tas modern yang bermotif noken itu, sepertinya mereka memotong noken yang sudah jadi setelah membeli dari perajin noken anggrek atau noken emas buah karya tangan yang bernilai tinggi ini.
Noken Anggrek, suku Mee, menurut talenta dirinya, tidak boleh ada orang yang berniat merendahkan atau meniadakan dengan cara gunting sesuka-suka orang.
Pemilik hak paten Noken sebagai warisan budaya tak benda dunia UNESCO merupakan hak cipta komunal individu di komunitas perajin noken dalam tujuh wilayah adat Papua.
Titus mengatakan, industri modern cenderung meminggirkan pengerajin budaya hingga masyarakat budaya kehilangan mata pencahariannya.
Ketika Noken diubah bentuknya secara signifikan menjadi tas modern bermotif noken demi kepentingan komersial, esensi atau makna budayanya hilang.
“Jelas bahwa modifikasi tanpa pemahaman akan nilai akan membuat budaya yang bersangkutan lebih cepat punah. Komodifikasi budaya dipandang hanya sebagai alat bisnis, bukan identitas atau warisan. Wajar kalau komunitas pemilik budaya merasa identitasnya dieksploitasi,” ujar Titus.
Lebih lanjut dikatakan., kasus ini memberi pelajaran untuk beberapa hal. Pertama, diperlukan pendidikan dan literasi budaya.
“Masyarakat dan pelaku industri harus paham nilai-nilai budaya agar tidak sembarangan mengubahnya,” kata Titus.
Kedua, perlindungan hukum, dimana pemerintah dapat membuat regulasi hak kekayaan intelektual komunal untuk melindungi warisan budaya.
Ketiga, Kemitraan komuntas industry dengan komunitas noken untuk terus mendorong komunitas untuk berkreasi dan membantu pemasaran.
“Industri sebaiknya bekerja sama langsung dengan komunitas, tapi bukan untuk meminta izin mengubah bentuk,” tegasnya.
Keempat, Pemberdayaan Pengerajin, yakni memberikan akses pelatihan, modal, dan pasar kepada pengerajin lokal agar mampu bersaing dan berkembang.
” Misalnya sertifikasi produk budaya, seperti hal label produk asli perlu juga dipikirkan,” kata dia
Dia menyarankan Industri yang melakukan modifikasi atau mengubah bentuk Noken untuk tidak melanjutkan bisnis itu dan masyarakat pun tidak perlu membeli dan menggunakan .
“Kebanggaan memakai Tas Noken, justru pada Noken yang dikerjakan dalam komunitas budaya masyarakat Papua. Bukan yang lain,” tutupnya. (*)