TIFFANEWS.CO.ID,- Working Group ICCAs Indonesia (WGII) resmi meluncurkan data terbaru Registrasi Nasional dan Potensi ICCAs (Indigenous Peoples and Local Community Conserved Areas and Territories). Peluncuran ini dikemas dalam diskusi media bertajuk “Menjaga Budaya, Merawat Masa Depan Keanekaragaman Hayati Indonesia”, di Jakarta, Rabu, (4/6/ 2025).
Diskusi yang dipandu Ridzki Sigit dari Mongobay Indonesia itu menghadirkan narasumber, diantaranya Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup Inge Retnowati, Program Manager WGII Cindy Julianty, Knowledge Management WGII Lasti Fardilla Noor, Direktur Forest Watch Indonesia Mufti F. Barri , Indigenous Filmmake Kynan Tegar dan Farwiza Farhan dari Yayasan HAkA.
Acara yang dihadiri jurnalis lingkungan dan aktivis lingkungan itu, menjadi ruang dialog lintas sektor dan bagian dari upaya untuk mendorong sinergi lintas sektor antara pemerintah, media, dan masyarakat sipil dalam mendukung capaian target nasional dalam dokumen Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP), sekaligus mendukung target global dalam kerangka Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF).
Dalam sambutannya, Koordinator WGII, Kasmita Widodo, menegaskan bahwa peluncuran data ICCA ini bukan hanya publikasi biasa, tetapi bagian dari upaya panjang untuk mengembalikan posisi masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai aktor utama dalam konservasi alam.
“Data edisi Mei 2025 ini memotret peran sentral komunitas dalam menjaga wilayah-wilayah kaya keanekaragaman hayati—peran yang selama ini kerap luput dalam kebijakan pembangunan nasional,” ujar Kasmita.
Menurutnya dalam konteks krisis iklim dan tekanan terhadap ekosistem, masyarakat adat bukan hanya penyintas, tetapi penjaga alam dengan pengetahuan dan praktik yang telah diwariskan secara turun temurun.
“Kami ingin menegaskan bahwa wilayah adat dan komunitas lokal adalah pusat penting dari pelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia. Mereka bukan hanya penjaga, tetapi juga pencipta tatanan ekologi yang seimbang”, ujarnya.
Dia menegaskan bahwa pelibatan aktif masyarakat adat dan komunitas lokal merupakan kunci dalam mencapai target-target konservasi nasional dan global.
Forum ini dimaksudkan juga untuk memperkuat dukungan terhadap pelibatan aktif komunitas lokal dalam pencapaian target konservasi nasional, seperti yang tertuang dalam Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP), serta target global dalam Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF), kerangka kerja global yang disepakati dalam Konferensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (CBD COP15).
Hingga Mei 2025, total luas wilayah yang telah masuk dalam Registrasi Nasional ICCAs mencapai 647.457,49 hektare, tersebar di 293 komunitas pemangku, terdiri dari 264 komunitas masyarakat adat dan 29 komunitas lokal.
Selain itu, potensi wilayah ICCAs yang teridentifikasi di seluruh Indonesia mencapai 23,82 juta hektare. Dari jumlah tersebut, 18,2 juta hektare dikategorikan sesuai dan 5,62 juta hektare sangat sesuai.
Registrasi Nasional ICCAs terbesar berada di Kalimantan dengan luas 385.744,26 hektare. Sementara itu, Papua menempati posisi teratas untuk potensi ICCAs dengan cakupan 9,37 juta hektare.
Analisis spasial WGII menunjukkan bahwa 52 persen dari total luas ICCAs mencakup wilayah-wilayah bernilai ekologis tinggi seperti Key Biodiversity Areas (KBA), koridor satwa, lahan basah, dan taman kehati. Sementara itu, 64,5 persen tutupan hutan di area ICCAs masih berupa hutan alam.
Sebagian besar wilayah konservasi ini berada di dalam kawasan hutan lindung (26,9 persen) dan kawasan konservasi (21,6 persen), yang menunjukkan betapa pentingnya tata kelola lokal dalam melindungi ekosistem kritis.
Peluncuran Data ICCA Edisi Mei 2025 ini bukan hanya soal angka atau peta, tetapi soal pengakuan terhadap cara hidup dan sistem pengetahuan yang telah lama menjadi penyangga alam Indonesia.
WGII terus mendorong dokumentasi dari berbagai wilayah, termasuk komunitas-komunitas adat di pulau-pulau kecil, yang sangat rentan terhadap perubahan iklim dan perampasan ruang hidup.
“Tanah adalah ibu, hutan adalah bapak, dan sungai adalah darah kita”.
Dalam diskusi, para narasumber menyambut baik pentingnya sistem pendokumentasian komunitas adat, termasuk data sosial dan spasial, sebagai dasar advokasi pengakuan wilayah-wilayah konservasi berbasis komunitas, atau yang dikenal sebagai ICCAs (Indigenous Peoples and Local Community Conserved Areas and Territories).
Kynan Tegar, pemuda adat Dayak Iban dari Sungai Utik sekaligus pembuat film dokumenter mengingatkan kembali filosofi yang diajarkan leluhurnya, “Tanah adalah ibu, hutan adalah bapak, dan sungai adalah darah kita”.
“Ketika tanah digali, hutan dibakar, dan sungai dikotori, maka kita sedang mencabik tubuh kita sendiri,” ujarnya.
Para narasumber menekankan petingnya pengakuan terhadap praktik konservasi yang diwariskan secara turun-temurun dan mengingatkan bahwa kerusakan alam dan ancaman terhadap ekosistem masyarakat adat kerap bersumber dari faktor eksternal, terutama ekspansi industri ekstraktif seperti pertambangan.
Pelestarian alam bukan hanya soal intervensi kebijakan atau proyek konservasi formal, tetapi juga soal pengakuan terhadap praktik dan nilai budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun. Begitu juga pengakuan formal terhadap ICCAs tidak hanya memperkuat kedaulatan ekologis masyarakat, tetapi juga berkontribusi signifikan terhadap stabilitas ekosistem Indonesia dalam jangka panjang.
Ditegaskan dalam diskusi itu, bahwa menjaga keanekaragaman hayati Indonesia tak bisa lepas dari menjaga budaya dan kehidupan mereka yang selama ini menjaganya dan kolaborasi lintas sektor diperlukan, terutama komunitas adat untuk menjadikan konservasi sebagai bagian dari keadilan sosial dan ekologis. (*Bn)