Oleh: Rufinus Kaimbe Awi (Alumni Unmus)
TIFFANEWS.CO.ID – Pemilihan Rektor Universitas Musamus Merauke periode 2025–2029 menjadi momentum penting yang akan menentukan arah masa depan pendidikan tinggi di wilayah Papua Selatan. Bagi banyak pihak, proses ini bukan sekadar agenda rutin akademik, melainkan titik balik strategis dalam menjawab tantangan pembangunan, ketimpangan pendidikan, dan pengembangan sumber daya manusia di kawasan perbatasan negara.
Sebagai satu-satunya perguruan tinggi negeri di Papua Selatan, Universitas Musamus (Unmus) memikul tanggung jawab besar dalam mendorong transformasi sosial dan ekonomi masyarakat. Dalam konteks ini, kepemimpinan rektor memegang peran sentral. Sosok yang terpilih harus mampu menafsirkan mandat kelembagaan secara progresif dan kontekstual: progresif dalam menjawab tuntutan zaman, dan kontekstual dalam memahami realitas lokal Papua Selatan yang unik dan kompleks.
Visi Unmus sebagai “Perguruan Tinggi Unggulan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi secara Mandiri dan Kreatif di Kawasan Regional Timur” pada tahun 2026 menegaskan arah strategis kampus ini. Visi ini bukan sekadar hiasan administratif, tetapi komitmen kolektif untuk menghadirkan pendidikan tinggi yang relevan dan berdampak nyata di tengah masyarakat.
Untuk mewujudkan visi tersebut, Universitas Musamus telah menetapkan tiga misi utama: pertama, melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang unggul dalam pemanfaatan teknologi informasi serta mendukung program Merdeka Belajar–Kampus Merdeka (MBKM); kedua, menghasilkan sumber daya manusia yang berkarakter, kompeten, dan memiliki jiwa kewirausahaan; dan ketiga, menyelenggarakan tata kelola kelembagaan yang profesional, akuntabel, unggul, dan berkelanjutan.
Ketiga misi ini harus menjadi fondasi utama bagi calon rektor dalam merumuskan arah kebijakan dan kepemimpinan. Rektor baru tidak boleh sekadar menjadi administrator kampus, tetapi harus menjadi arsitek perubahan yang mampu mewujudkan Tri Dharma Perguruan Tinggi secara utuh dan bermakna.
Dalam aspek pendidikan, Unmus membutuhkan pemimpin yang mampu menciptakan ekosistem pembelajaran yang inklusif dan membebaskan. Di wilayah Papua Selatan, banyak mahasiswa berasal dari latar belakang pendidikan dasar yang tidak merata. Oleh karena itu, sistem pengajaran harus kontekstual, memperhatikan tantangan digitalisasi, dan memfasilitasi berbagai model belajar yang adaptif.
Rektor baru harus memastikan bahwa implementasi MBKM di Unmus tidak sekadar menjadi formalitas kurikulum, tetapi menjadi gerakan pembelajaran yang menghubungkan kampus dengan dunia nyata. Program magang, riset, proyek kampung, dan pertukaran pelajar harus benar-benar membuka ruang bagi mahasiswa untuk berinteraksi dengan realitas sosial, budaya, dan ekonomi Papua Selatan.
Di bidang penelitian, kepemimpinan Unmus perlu membangun riset yang solutif dan berbasis kebutuhan lokal. Selama ini, banyak penelitian di lingkungan perguruan tinggi terjebak dalam rutinitas akademik dan tidak berdampak luas. Rektor masa depan harus mampu menciptakan budaya riset yang kolaboratif, transdisipliner, dan berbasis masalah nyata masyarakat.
Papua Selatan memiliki kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Potensi ini seharusnya menjadi objek utama penelitian ilmiah di Unmus. Dari pertanian, kehutanan, kelautan, hingga kearifan lokal, semua bisa menjadi sumber ilmu yang berguna jika dikaji dengan serius dan diterjemahkan dalam bentuk inovasi terapan.
Dalam hal pengabdian kepada masyarakat, rektor baru harus menegaskan kembali peran kampus sebagai bagian dari kehidupan rakyat. Mahasiswa dan dosen tidak cukup hadir di ruang kelas dan laboratorium. Mereka harus turun ke kampung-kampung, hadir di tengah masyarakat, dan menjadi agen perubahan sosial.
Pengabdian yang berakar pada konteks lokal akan memperkuat hubungan antara kampus dan masyarakat. Program penyuluhan, pemberdayaan ekonomi lokal, pelatihan teknologi, advokasi sosial, serta pelestarian budaya merupakan bentuk konkret dari Tri Dharma yang berpihak pada keadilan sosial.
Tata kelola kelembagaan juga menjadi ujian besar bagi rektor Unmus ke depan. Kampus harus dibangun di atas prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Praktik-praktik yang mengarah pada nepotisme, politik internal sempit, atau penyalahgunaan kewenangan harus dihapus secara tegas.
Rektor yang progresif harus mampu membangun sistem manajemen kampus yang modern, efisien, dan berpihak pada mutu. Reformasi dalam manajemen keuangan, pelayanan akademik, pemanfaatan teknologi informasi, dan peningkatan kesejahteraan dosen serta tenaga kependidikan harus menjadi prioritas utama.
Tantangan dalam mengelola perguruan tinggi di wilayah 3T seperti Merauke tidaklah ringan. Namun tantangan tersebut harus dibaca sebagai peluang untuk berinovasi. Dibutuhkan rektor yang tidak hanya cerdas secara administratif, tetapi juga berani keluar dari zona nyaman dan menembus batas-batas konvensional.
Pemilihan rektor kali ini juga menjadi cerminan integritas akademik Unmus. Senat universitas, sivitas akademika, dan pihak-pihak terkait harus menghindari kooptasi politik atau transaksionalisme dalam memilih pemimpin kampus. Rektor bukan alat elite atau representasi kepentingan kelompok tertentu, melainkan pelayan ilmu pengetahuan dan rakyat.
Harapan publik Papua Selatan terhadap Unmus sangat besar. Masyarakat menantikan kampus yang terbuka, berwibawa, dan terlibat aktif dalam pembangunan daerah. Oleh karena itu, sosok rektor yang terpilih harus mampu menjaga marwah kampus, sekaligus memperluas kontribusi Unmus ke dalam ruang-ruang sosial yang lebih luas.
Rektor yang ideal adalah mereka yang memiliki visi besar dan keberanian untuk mengimplementasikannya. Ia harus peka terhadap dinamika lokal, sekaligus mampu menjalin kerja sama strategis dengan dunia luar: pemerintah daerah, sektor industri, lembaga donor, dan mitra internasional.
Dengan posisi geografis yang strategis di perbatasan negara, Unmus memiliki potensi untuk menjadi pusat unggulan ilmu pengetahuan di kawasan timur Indonesia. Potensi ini harus dibarengi dengan kepemimpinan yang memiliki kapasitas membangun jaringan dan membawa kampus pada kancah nasional maupun internasional.
Transformasi kampus tidak akan terjadi secara otomatis. Ia membutuhkan kepemimpinan yang konsisten, berbasis nilai, dan berorientasi pada perubahan nyata. Rektor baru Unmus harus menjadi simbol harapan dan pelaku utama dalam transformasi ini.
Mahasiswa sebagai subjek utama dalam proses pendidikan harus diposisikan sebagai mitra, bukan objek. Keterlibatan aktif mahasiswa dalam proses pengambilan kebijakan, pengembangan kurikulum, dan kegiatan kampus harus ditingkatkan. Rektor perlu membuka ruang dialog dan membangun relasi yang egaliter dengan generasi muda kampus.
Demikian pula dengan dosen dan tenaga kependidikan. Mereka adalah pilar penting dalam menjalankan misi kelembagaan. Kepemimpinan yang baik akan menghargai kerja keras mereka dengan dukungan yang memadai dalam hal pelatihan, fasilitas, dan insentif profesional.
Lebih jauh, Universitas Musamus memiliki tanggung jawab historis untuk menjadi bagian dari perjuangan kolektif rakyat Papua Selatan dalam mencapai keadilan dan kemajuan. Kampus tidak boleh netral terhadap penderitaan masyarakat. Ilmu yang dikembangkan di dalamnya harus berpihak dan membebaskan.
Pemilihan Rektor Universitas Musamus Merauke periode 2025–2029 adalah kesempatan emas untuk mengawal arah baru perguruan tinggi ini. Kita membutuhkan pemimpin yang tidak hanya berpikir administratif, tetapi juga mampu menjadi juru bicara perubahan dan penjaga marwah akademik.
Unmus harus menjadi kampus yang hidup, berdenyut bersama denyut nadi masyarakat Papua Selatan. Dan semua itu hanya mungkin terwujud jika ia dipimpin oleh rektor yang progresif, kontekstual, dan berintegritas tinggi.
Kita menanti sosok yang tidak hanya membawa perubahan dalam struktur, tetapi juga dalam budaya kampus. Seorang rektor yang tidak hanya membawa jargon, tetapi keberanian untuk membumikan nilai-nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam praktik kehidupan.