Oleh: Yarnedi Mulyadi
Papua, tanah yang dikaruniai kekayaan alam luar biasa dan bentang budaya yang beragam, selama ini juga menyimpan narasi panjang ketegangan dan perjuangan sosial. Namun di tengah kisah yang kerap dibingkai oleh konflik dan keterbelakangan, tumbuh sebuah inisiatif hening yang sarat makna: “Gereja untuk Papua.”
Apa yang mungkin terlihat sebagai program pembangunan rumah ibadah, ternyata menyimpan nilai-nilai transformasional yang jauh lebih dalam. Ia bukan sekadar pembangunan fisik bangunan keagamaan, melainkan sebuah gerakan sosial yang membangun ruang hidup bersama, merawat jalinan sosial, dan menumbuhkan harapan di akar rumput masyarakat Papua.
Membangun Gereja, Membangun Harapan
Pembangunan lebih dari 30 gereja di wilayah-wilayah terpencil di Papua, seperti Jayapura, Kerom, Wamena, Nduga, hingga Merauke, bukanlah proyek biasa. Ia melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal, tokoh adat, tokoh agama, pemerintah daerah, pihak TNI, dan unsur swasta. Ini adalah bentuk kolaborasi lintas sektoral yang menjadi kunci keberhasilan inisiatif ini.
Setiap gereja tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat komunitas: tempat berlangsungnya pendidikan, pembinaan moral, dialog antarwarga, dan pelatihan keterampilan. Dalam banyak kasus, gereja bahkan menjadi ruang aman di tengah keterasingan sosial dan geografis yang dihadapi warga Papua. Di sanalah mereka bertemu, berbagi, dan merasa menjadi bagian dari sebuah komunitas yang lebih besar.
Lebih penting lagi, proses pembangunannya memberdayakan masyarakat. Warga lokal dilibatkan secara langsung sebagai pekerja konstruksi, pelaksana kegiatan, bahkan dalam perencanaan dan pengelolaan komunitas pascapembangunan. Hal ini menciptakan rasa kepemilikan yang tinggi, membangun kepercayaan sosial, dan memperkuat modal sosial di tingkat lokal.
Jembatan Antarbudaya dalam Masyarakat Majemuk
Papua bukanlah masyarakat homogen. Ia terdiri dari ratusan suku dan kelompok etnis, masing-masing dengan bahasa, tradisi, dan kepercayaannya. Di tengah realitas tersebut, gereja berperan sebagai jembatan antarbudaya yang mempersatukan berbagai identitas tanpa meniadakan perbedaan. Ia menjadi medium yang menghidupkan nilai-nilai toleransi, dialog, dan gotong-royong.
Inisiatif ini menunjukkan bahwa rekonsiliasi bukan hanya urusan meja diplomasi atau kebijakan makro. Ia bisa tumbuh dari bawah, dari pertemuan sehari-hari, dari ruang ibadah yang juga menjadi ruang hidup. Gereja menjadi tempat di mana orang belajar untuk menerima, mendengar, dan menghargai satu sama lain, bahkan ketika mereka berasal dari latar belakang yang sangat berbeda.
Tantangan yang Tidak Sederhana
Tentu saja, jalan yang ditempuh bukan tanpa tantangan. Akses ke lokasi-lokasi terpencil di Papua sangat terbatas, medan geografis berat, dan biaya logistik tinggi. Belum lagi perbedaan budaya dan sejarah relasi antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua yang masih menyisakan luka. Namun justru di tengah keterbatasan itulah, inisiatif ini menemukan kekuatannya.
Gerakan ini menolak menyerah pada narasi pesimisme. Ia menjawab tantangan dengan kerja nyata. Ia membalas kecurigaan dengan kepercayaan. Ia merespons keterbatasan dengan kreativitas dan solidaritas.
Partisipasi: Kunci Keberlanjutan
Untuk menjadikan inisiatif ini sebagai gerakan jangka panjang yang berkelanjutan, partisipasi luas dari berbagai pihak sangat dibutuhkan. Dukungan bukan hanya dalam bentuk dana, tetapi juga keahlian, waktu, perhatian, dan doa. Lebih banyak gereja bisa dibangun, lebih banyak masyarakat bisa diberdayakan, dan lebih banyak jembatan sosial bisa diciptakan.
Bagi dunia pendidikan, ini adalah kesempatan untuk mengirim relawan pengajar. Bagi dunia usaha, ini peluang untuk mendukung pembangunan komunitas. Bagi tokoh agama dan pemimpin sosial, ini ladang subur untuk menanam nilai-nilai perdamaian dan penguatan identitas lokal yang positif.
Gereja sebagai Simbol Perdamaian yang Hidup
Gereja dalam konteks ini bukan hanya struktur arsitektural. Ia adalah simbol perjumpaan dan penyembuhan. Ia menjadi cermin dari semangat kebangsaan yang sesungguhnya: membangun dari pinggiran, merangkul yang tertinggal, dan menyatukan yang berbeda. Ia menjadi pilar sosial yang mampu menahan derasnya arus disintegrasi dan konflik.
Di Papua, pembangunan gereja bukan semata agenda keagamaan—ia adalah tindakan sosial, politik, dan kemanusiaan. Ia menyapa luka sejarah dengan sentuhan lembut dari kolaborasi lintas batas. Ia adalah cara paling manusiawi untuk mengatakan: “Kami hadir bersama kalian.”
Penutup: Menuju Papua yang Damai dan Bermartabat
Inisiatif “Gereja untuk Papua” adalah bukti bahwa perubahan tidak selalu harus datang dari atas. Ia bisa bermula dari hati yang peduli, tangan yang bekerja, dan tekad yang tidak lelah menghadirkan kebaikan. Ia menunjukkan bahwa pembangunan sejati bukan hanya membangun infrastruktur, tetapi membangun harapan, kepercayaan, dan masa depan yang damai.
Kini saatnya kita semua, sebagai bangsa, bertanya: Apakah kita akan diam menyaksikan Papua berjalan sendiri? Atau kita akan berjalan bersamanya, membangun jembatan-jembatan baru, dan memastikan bahwa damai itu nyata?