TIFFA NEWSTIFFA NEWS
  • HOME
  • BERITA
  • OLAHRAGA
  • KAMTIBMAS
  • POLITIK
  • PPS
  • NUSANTARA
  • GALERI
  • OPINI
  • OTHERS
    • PUSTAKA
    • BUDAYA
    • EKONOMI
    • HANKAM
    • HAM
    • JEJAK
    • GAYA HIDUP
    • INTAN JAYA
    • SOSOK
Search
Reading: Ramai Soal Pemilu Nasional dan Daerah, Tapi Masalah Utamanya Bukan Itu
Share
TIFFA NEWSTIFFA NEWS
Search
  • HOME
  • BERITA
  • OLAHRAGA
  • KAMTIBMAS
  • POLITIK
  • PPS
  • NUSANTARA
  • GALERI
  • OPINI
  • OTHERS
    • PUSTAKA
    • BUDAYA
    • EKONOMI
    • HANKAM
    • HAM
    • JEJAK
    • GAYA HIDUP
    • INTAN JAYA
    • SOSOK
Have an existing account? Sign In
Follow US
© 2022 RAKA for Tiffa Company. All Rights Reserved.
TIFFA NEWS > News > BERITA > Ramai Soal Pemilu Nasional dan Daerah, Tapi Masalah Utamanya Bukan Itu
BERITAOPINIPOLITIK

Ramai Soal Pemilu Nasional dan Daerah, Tapi Masalah Utamanya Bukan Itu

Last updated: 07/07/2025 - 02:28
By bungben
Share
ilustrasi
SHARE

Oleh Benjamin Tukan 

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 membuka jalan bagi pemisahan pemilu nasional (presiden dan legislatif pusat) dan pemilu daerah (gubernur, bupati/wali kota dan DPRD).  MK juga menetapkan bahwa jarak antara keduanya maksimal 2 tahun 6 bulan. Amar putusan ini dibacakan langsung oleh Ketua MK, Suhartoyo, di Gedung MK, Kamis 26 Juni 2025.

Putusan ini sontak menimbulkan perdebatan luas dan semakin meramaikan diskusi publik. Ada yang menolak, ada yang menerima putusan ini. Mereka yang menerima menyambutnya sebagai jalan keluar dari kelelahan teknis dan tumpang tindih kampanye, sebagian lain menilai sebagai kemunduran demokrasi. Di balik gemuruh debat soal format pemilu, pertanyaan yang lebih mendasar justru luput, apakah perubahan teknis ini mampu menyentuh akar persoalan yang selama ini merusak kualitas demokrasi kita?

Perdebatan adalah hal yang lumrah untuk menjadi pertimbangan menyusun aturan teknis dalam mencapai hasil yang berkualitas. Namun, bila kemudian perdebatan menjurus pada kalkulasi politik dan melupakan substasi masalah yang perlu diperbaiki bersama-sama, maka tidak ada yang menarik dari putusan pemisahan ini.

Dalam dunia politik, ada ungkapan sinis namun menggugah: “Habis pemilu adalah awal dari pemilu berikutnya.” Ungkapan ini mencerminkan realitas bahwa kompetisi politik tak pernah benar-benar usai. Begitu satu pemilu selesai, mesin partai dan para politisi segera bersiap menghadapi kontestasi berikutnya.  Siklus ini menggambarkan betapa kuatnya orientasi politik kita terhadap kekuasaan dan betapa padatnya ritme demokrasi elektoral di negeri ini.

***

Pihak yang mendukung pemisahan pemilu nasional dan daerah berangkat dari harapan akan peningkatan kualitas demokrasi. Mereka menilai, pemilu serentak 5 kotak suara membuat pemilih kesulitan memahami visi dan misi para kandidat karena tumpang tindihnya kampanye legislatif nasional, pilpres, dan legislatif daerah. Dengan pemisahan, pemilih bisa lebih fokus menilai calon berdasarkan isu dan kapasitas masing-masing, tanpa terdistraksi hiruk-pikuk kontestasi lain.

Salah satu argumen kuat lainnya adalah keinginan mengurangi efek “ekor jas” atau coattail effect. Dalam sistem serentak, partai kecil kerap bergantung pada popularitas calon presiden untuk mendulang suara legislatif. Pemisahan jadwal pemilu mendorong partai politik membangun kekuatan ideologis dan struktural secara mandiri, tanpa menumpang ketokohan kandidat nasional. Tapi apakah akan seperti itu? Bukankah Presiden terpilih memiliki pengaruh yang kuat di Pemilu Lokal? Kita lihat saja nanti.

Dari aspek teknis, para pendukung pemisahan melihatnya sebagai solusi atas beban berat yang ditanggung penyelenggara pemilu. Tragedi pada Pemilu 2019, meninggalnya petugas KPPS  karena kelelahan, menjadi peringatan serius. Pemisahan dianggap mampu membagi beban kerja, memperkecil risiko logistik, serta memberikan ruang waktu yang cukup bagi persiapan dan evaluasi antara satu pemilu dengan pemilu lainnya.

Trending Now:  Pemilu Serentak 2024, Penyelenggara Diimbau Taati Aturan

Pemisahan juga memberi keuntungan besar bagi penguatan demokrasi lokal. Dalam pemilu serentak, isu-isu daerah kerap terabaikan karena dominasi pemberitaan dan perhatian publik pada pilpres dan legislatif nasional. Dengan jadwal terpisah, pemilu kepala daerah dan legislatif daerah bisa lebih menonjolkan masalah daerah seperti pendidikan, kesehatan, atau tata kelola desa yang lebih relevan bagi masyarakat setempat. Ini juga mendorong lahirnya kandidat kepala daerah dan legislatif daerah yang benar-benar punya basis dan rekam jejak kuat di tingkat lokal.

Akhirnya, pihak yang mendukung pemisahan ini meyakini bahwa pemisahan dapat menciptakan stabilitas politik yang lebih terjaga. Jika seluruh pemilu dilakukan serentak dan hasilnya menimbulkan ketegangan, potensi konflik horizontal dapat terjadi secara luas dan bersamaan. Dengan pemisahan, eskalasi ketegangan bisa lebih terkontrol, dan proses demokrasi dapat berlangsung secara lebih bertahap dan terukur serta politik desentralisasi pun mulai ditata ke arah yang lebih baik.

***

Pihak yang menolak pemisahan pemilu berangkat dari pertimbangan konstitusional dan efisiensi. Mereka mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi sendiri, melalui Putusan No. 14/PUU-XI/2013, pernah menegaskan bahwa pemilu serentak adalah amanat konstitusi demi efisiensi dan keadilan pemilu. Karena itu, pemisahan pemilu justru dinilai sebagai langkah inkonsisten yang menimbulkan ketidakpastian hukum serta membuka ruang tafsir yang bertentangan dengan prinsip kepastian konstitusional.

Dari aspek anggaran, pemilu yang dipisah jelas akan menggandakan beban negara. Setiap tahapan harus dilakukan dua kali dari pengadaan logistik, penyusunan DPT, pelatihan petugas, distribusi perlengkapan, hingga pengawasan dan keamanan. Artinya, biaya politik dan administratif akan meningkat signifikan, bukan hanya bagi pemerintah pusat, tapi juga bagi pemerintah daerah. Di tengah keterbatasan fiskal nasional, ini menjadi sorotan serius.

Konsekuensi lainnya adalah perpanjangan tensi politik di ruang publik. Jika pemilu dilakukan dua kali dalam jeda waktu yang relatif pendek, masyarakat akan terus-menerus disuguhi kampanye, propaganda, hingga polarisasi opini. Alih-alih menciptakan stabilitas, situasi ini justru memperpanjang konflik sosial-politik dan memperlelah partisipasi warga dalam proses politik yang berkepanjangan.

Konsekuensi lanjutan dari pemisahan ini adalah kekosongan masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah. Sebab, pemilu daerah baru akan dihelat dua tahun atau maksimal dua setengah tahun setelah pemilu nasional 2029, yakni pada 2031, sementara masa jabatan kepala daerah dan legislatif daerah akan berakhir di 2029-2030. Kendati ini bisa dipandang sebagai fase transisi, tapi spekulasi perpanjang atau tidak diperpanjang akan menyulitkan kerja-kerja pemerintahan lokal, bila keputusan teknis pemilu tidak segera diambil dari sekarang.

Trending Now:  Kodim Merauke Terima Tim Sterad Survei Kepuasan Masyarakat Terhadap Kinerja Babinsa

Perpanjangan masa jabatan ini, juga berpengaruh pada pergantian kepengurusan dalam partai yang rata-rata memiliki masa jabatan lima tahun, atau sudah mengagendakan pergantian pengurus  dari sekarang. Sebab, dinamika dalam “dapur-nya” para politisi ini akan sangat berpengaruh pada kompetisi politik di pemilu. Begitu pun terlalu panjangnya masa jabatan bisa berisiko meningkatkan kejenuhan politik  masyarakat akan figur-figur anggota legislatif daerah yang akan mencalonkan kembali.

Hal yang paling krusial dari pemisahan pemilu ini adalah pemisahan antara pemilu legislatif nasional (DPR RI) dan legislatif daerah (DPRD). Diakui atau tidak, selama ini suara yang diperoleh legislatif nasional banyak ditentukan oleh kerja-kerja politik calon legislatif lokal, walau banyak pula calon lokal terpilih karena suport dari calon legislatif nasional yang bertarung dalam pemilu yang sama.

Sekarang, jika pemisahan itu terjadi, resiko untuk mendulang suara akan menemukan banyak tantangan, kecuali ada peran partai yang menyatukan kerja sama anggotanya di setiap pemilu. Begitu pun, jika pemisahan ini terjadi, para “petualang politik” dari calon-calon nasional, akan sulit memasuki daerah yang tidak dikenalnya, sebab  yang terpilih hanya benar-benar dikenal di daerah itu. Untuk DPD tidak ada masalah, karena tidak banyak berubah.

***

Sebenarnya tidak mesti dipandang terlalu rumit menjelaskan perubahan pemilu menjadi pemilu nasional dan pemilu lokal. Sebelumnya kita sudah melaksanakan dua kali pemilu yaitu Pemilu Serentak dan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada). Sekarang pemilu legislatif daerah digeser bersamaan dengan pemilu kepala daerah.Begitu pun, tidak sulit juga memahami mengapa terjadi semacam penolakan.

Persoalan yang jauh lebih mendasar adalah kita tidak pernah sungguh-sungguh memahami arti transisi sebagai jalan menunju perbaikan. Transisi yang diperdebatan saat ini  lebih pada masa menunggu, yang terkesan terlalu panjang dengan konsekuensi ikutannya. Orang tidak lagi berpikir  bahwa transisi ini suatu keharusan bila kita inginkan sistem pemilu dan demokrasi yang lebih baik.

Trending Now:  KPU Papua Selatan Selesaikan Dua Tahap Pendistribusian Logistik

Jika pemisahan pemilu dianggap memberikan perubahan postif, mestinya selain penentuan kapan pemilu dilaksanakan, sudah seharusnya dikedepankan pembicaraan-pembicaraan dalam rangka memperbaiki budaya politik, rekrutmen kader dan meniadakan politik uang yang marak dalam pemilu.

Politik uang dan politik berbiaya tinggi masih menjadi momok yang merusak integritas pemilu. Di setiap pemilu atau pun pilkada, praktik ini masih berlangsung. Calon legislatif atau kepala daerah kerap menggelontorkan uang tunai, sembako, atau jasa tertentu menjelang hari pemungutan suara. Ini menjadikan suara rakyat sebagai komoditas, bukan ekspresi rasional berdasarkan program atau visi-misi kandidat.Belum lagi soal beli kursi partai untuk dapat memenuhi syarat pencalonan kepala daerah, atau biaya nomor urut untuk calon legislatif. Politisi tanpa modal ekonomi, lebih banyak harus tahu diri.

Selain itu, kecurangan administratif dan teknis juga terus menghantui proses pemilu. Manipulasi daftar pemilih tetap (DPT), pemindahan lokasi TPS secara mendadak, hingga kesalahan dalam input data baik secara manual maupun melalui sistem digital seperti Sirekap, membuat kepercayaan publik terhadap hasil pemilu kerap dipertanyakan. Keberulangan masalah ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan minimnya reformasi kelembagaan.

Ketidaknetralan aparatur Negara termasuk ASN, kepala desa, hingga aparat keamanan juga menjadi isu klasik yang belum tuntas diatasi. Banyak pembicaraan usai pemilu menyebutkan adanya keberpihakan terselubung terhadap kandidat tertentu, baik melalui instruksi tersirat maupun mobilisasi massa, namun semua itu terlewatkan dan dianggap biasa biasa saja. Praktik ini tentu menciderai asas keadilan pemilu dan memperkuat kesan bahwa kontestasi politik dikuasai oleh kekuatan struktural dan uang, bukan oleh kehendak rakyat.

Tak kalah serius adalah derasnya arus hoaks, disinformasi, dan polarisasi di ruang publik, terutama di media sosial. Pemilu 2014 dan 2019 menjadi bukti bagaimana kontestasi politik bisa membelah masyarakat ke dalam kubu-kubu ideologis yang saling mencurigai. Di sisi lain, beban berat yang ditanggung penyelenggara seperti KPPS dan KPU dalam pemilu serentak nasional turut menambah kompleksitas.

Dalam hiruk pikuk perdebatan, sering kali substansi pemilu atau hal-hal yang merusak demokrasi dan pemilu justru terabaikan. Alih-alih membahas akar persoalan demokrasi, perdebatan masih berkutat pada  lamanya masa transisi yang sebenarnya menyembunyikan sikap setuju atau tidak setuju pada pemisahan pemilu ini. Dalam logika ini, pemilu diperlakukan sebagai ajang kalkulasi politik, bukan ruang evaluasi dan perbaikan sistem demokrasi itu sendiri.@

You Might Also Like

Freeport Indonesia dan Stania Tandatangani Heads of Agreement Jual Beli Perak dan Timbal

Mobil Avanza Terbakar di Trans Papua, Polsek Ulilin Lakukan Penanganan

Audiensi dengan Bupati Merauke, Pemuda Katolik Bahas Peran Strategis Pendidikan dan Ekonomi Kerakyatan

Empat Penghargaan Diberikan dalam Rakerkesda Papua Selatan 2025

TAGGED: Pemilu Serentak, Pro kontra pemilu, Putusan MK Soal Pemilu
bungben 01/07/2025
Share this Article
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Telegram Email Print
What do you think?
Love0
Sad0
Happy0
Sleepy0
Angry0
Dead0
Wink0
Previous Article Bupati Intan Jaya Terima Penghargaan The Best Figure Regent 2025
Next Article Pemprov Papua Selatan Apresiasi 25 Tahun Imamat Pastor Hendrikus Kariwop
Leave a comment

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow US

Find US on Social Medias
Facebook Like
Twitter Follow
Youtube Subscribe
Telegram Follow
- Advertisement -
Ad imageAd image
- Advertisement -
Ad imageAd image
newsletter featurednewsletter featured

Weekly Newsletter

Kirim Email Anda agar bisa kami infokan berita pilihan terpopuler

Popular News
BERITAPPS

Empat Penghargaan Diberikan dalam Rakerkesda Papua Selatan 2025

By Ronny Tiffa News 4 days ago
Transformasi Kesehatan Menuju Papua Selatan yang Sehat, Cerdas, dan Produktif
Papua Selatan Gelar Rakerkesda 2025 : Menuju Masyarakat Sehat, Cerdas, dan Produktif
Pemprov Papua Selatan Gencarkan Pelatihan Petani Sawit: “Kesejahteraan Dimulai dari SDM Berkualitas”
Audiensi dengan Bupati Merauke, Pemuda Katolik Bahas Peran Strategis Pendidikan dan Ekonomi Kerakyatan

SUARNEWS.COM

about us

We influence 20 million users and is the number one business and technology news network on the planet.

  • BERITA
  • PON XX 2021
  • GALERI
  • KAMTIBMAS
  • NUSANTARA
  • PUSTAKA
  • GAYA HIDUP
  • JEJAK
  • SUARNEWS
  • INTAN JAYA
  • Susunan Redaksi
  • Tentang Kami
  • Contact
  • Privacy Policy
  • Disclaimer

Find Us on Socials

© TIFFANews Network. RAKA GENDIS.id Company. All Rights Reserved. Suar News

Removed from reading list

Undo
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?