Oleh : Yohanis Elia Sugianto
“Simulakrum bukanlah apa yang menyembunyikan kebenaran—ia adalah kebenaran yang menyembunyikan fakta bahwa tidak ada kebenaran. Simulakrum itu benar.”
(Jean Baudrillard – Simulacra and Simulation)
Fenomena “Bjorka” lebih dari sekadar insiden peretasan; ia adalah sebuah peristiwa sosio-politis yang secara telanjang mempertontonkan kerapuhan institusional dan krisis yang lebih dalam pada aras negara. Penanganan kasus ini oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri), yang diwarnai oleh klaim penangkapan yang diragukan dan ketidakmampuan membuktikan secara definitif identitas pelaku, harus dibaca bukan sebagai kegagalan teknis semata. Dari sudut pandang filsafat, hal ini merepresentasikan sebuah kegagalan epistemologis—kegagalan dalam memproduksi pengetahuan yang absah—yang secara langsung mengancam fondasi kedaulatan negara di era digital dan meruntuhkan kontrak sosial antara negara dan warganya.
Simulacrum Penegakan Hukum dan Krisis Pengetahuan
Filsuf Prancis, Jean Baudrillard, dalam bukunya: Simulacra and Simulation memperkenalkan konsep simulacrum, yaitu sebuah salinan tanpa orisinal, sebuah realitas artifisial yang menggantikan kenyataan itu sendiri. Penangkapan individu yang diduga sebagai Bjorka, tanpa disertai bukti forensik digital yang meyakinkan publik, dapat dianalisis sebagai penciptaan sebuah simulakrum penegakan hukum. Dalam hal ini, sosok “tersangka” yang dihadirkan bukanlah representasi dari kebenaran (pelaku asli), melainkan sebuah tanda (sign) yang berfungsi untuk meredam kecemasan publik dan memproyeksikan citra negara yang berkuasa dan terkendali. Negara, melalui aparaturnya, tidak lagi berupaya membuktikan kebenaran secara empiris, melainkan memproduksi sebuah “hiperrealitas” di mana keamanan telah dipulihkan dan ancaman telah dinetralisir, kendati pada kenyataannya ancaman tersebut masih utuh dan berkeliaran bebas.
Krisis ini bersifat epistemologis karena menyangkut pertanyaan fundamental: “Bagaimana kita tahu apa yang kita tahu?” Ketika institusi yang memiliki monopoli atas kebenaran yuridis (Polri) gagal menyajikan pengetahuan yang dapat diverifikasi dan dipercaya, maka yang terjadi adalah delegitimasi pengetahuan itu sendiri. Publik tidak lagi melihat Polri sebagai sumber kebenaran yang otoritatif, melainkan sebagai salah satu narator dalam pertarungan narasi. Akibatnya, kebenaran tentang siapa Bjorka menjadi cair, subjektif, dan pada akhirnya tidak lagi penting. Yang tersisa adalah persepsi atas ketidakmampuan negara, sebuah pengetahuan kolektif yang jauh lebih berbahaya daripada identitas sang peretas.
Panoptikon Terbalik dan Runtuhnya Kedaulatan Digital
Michel Foucault, dalam analisisnya mengenai kekuasaan, sebeagaimana disampaikan dalam bukunya: Discipline and Punish: The Birth of the Prison, menggunakan metafora Panoptikon untuk menggambarkan bagaimana negara modern mengawasi dan mendisiplinkan warganya. Negara memegang kendali karena ia mampu melihat tanpa terlihat. Data kependudukan, data finansial, dan data komunikasi adalah instrumen dari Panoptikon digital ini. Bjorka, melalui aksinya, melakukan sebuah subversi radikal: ia membalikkan tatapan Panoptikon tersebut. Ia tidak hanya mencuri data, tetapi ia mempertontonkan “ketelanjangan” sang pengawas. Negara yang seharusnya mengawasi, kini justru menjadi objek yang diawasi dan data-datanya dipertontonkan secara publik.
Di sinilah letak ancaman paling mendasar terhadap kedaulatan. Dalam konsepsi Westphalian, kedaulatan negara didefinisikan oleh kemampuannya memegang monopoli atas penggunaan kekerasan di dalam teritori fisiknya. Di abad ke-21, definisi ini harus diperluas ke ranah digital. Kedaulatan digital berarti kemampuan negara untuk melindungi integritas datanya, mengamankan infrastruktur kritisnya, dan menjamin keamanan warga negaranya di ruang siber. Ketidakmampuan Polri—sebagai representasi kekuatan koersif negara—untuk mengidentifikasi dan menetralisir ancaman seperti Bjorka secara efektif adalah pengakuan implisit atas kegagalannya dalam menegakkan kedaulatan di teritori digital. Ini mengirimkan sinyal berbahaya bahwa “wilayah” digital Indonesia adalah ruang tak bertuan (terra nullius), terbuka bagi eksploitasi oleh aktor negara maupun non-negara.
Ancaman Nyata: Putusnya Kontrak Sosial Digital
Kegagalan ini bukanlah sekadar aib institusional, melainkan pemicu ancaman yang lebih sistemik. Hal potensial yang hendaknya dipandang sebeagai ancaman serius untuk disikapi tentang ini, adalah:
Pertama, terjadi erosi pada kontrak sosial digital. Warga negara secara implisit menyerahkan sebagian privasi dan datanya kepada negara dengan harapan negara akan melindunginya. Ketika negara terbukti lalai atau tidak mampu, fondasi kepercayaan ini hancur. Warga akan merasa dikhianati, memicu sinisme dan keengganan untuk berpartisipasi dalam ekosistem digital yang dimoderasi oleh pemerintah.
Kedua, ia membuka pintu bagi anarkisme siber dan eksploitasi data skala masif. Ketidakmampuan menangani Bjorka menjadi preseden dan insentif bagi peretas lain untuk melakukan hal serupa. Mereka melihat bahwa risiko untuk tertangkap rendah, sementara “imbalan”—baik berupa keuntungan finansial maupun popularitas—sangat tinggi. Keamanan siber nasional yang rapuh bukan lagi sekadar isu teknis, tetapi telah menjadi undangan terbuka bagi aktor-aktor jahat untuk mengeksploitasi data warga dan infrastruktur kritis, mulai dari sistem perbankan, energi, hingga pertahanan.
Sebagai kesimpulan, kecerobohan dalam penanganan kasus Bjorka adalah gejala dari penyakit yang lebih kronis. Ia menandai sebuah era di mana kekuasaan tidak lagi cukup diukur dari kekuatan militer atau polisi, tetapi dari kemampuan mengelola informasi dan mengamankan realitas digital. Kegagalan Polri dalam kasus ini adalah kegagalan negara dalam beradaptasi dengan paradigma baru kedaulatan, sebuah kegagalan epistemologis yang pada akhirnya mempertaruhkan keamanan dan masa depan seluruh bangsa di panggung global yang semakin terdigitalisasi.