TIFFA NEWSTIFFA NEWS
  • HOME
  • BERITA
  • OLAHRAGA
  • KAMTIBMAS
  • POLITIK
  • PPS
  • NUSANTARA
  • GALERI
  • OPINI
  • OTHERS
    • PUSTAKA
    • BUDAYA
    • EKONOMI
    • HANKAM
    • HAM
    • JEJAK
    • GAYA HIDUP
    • INTAN JAYA
    • SOSOK
Search
Reading: Gereja Papua Di Persimpangan Jalan: TUR Para Imam Sebagai Kairos Menuju Misi Inkulturatif Dan Profetik Di Era Otonomi Baru
Share
TIFFA NEWSTIFFA NEWS
Search
  • HOME
  • BERITA
  • OLAHRAGA
  • KAMTIBMAS
  • POLITIK
  • PPS
  • NUSANTARA
  • GALERI
  • OPINI
  • OTHERS
    • PUSTAKA
    • BUDAYA
    • EKONOMI
    • HANKAM
    • HAM
    • JEJAK
    • GAYA HIDUP
    • INTAN JAYA
    • SOSOK
Have an existing account? Sign In
Follow US
© 2022 RAKA for Tiffa Company. All Rights Reserved.
TIFFA NEWS > News > OPINI > Gereja Papua Di Persimpangan Jalan: TUR Para Imam Sebagai Kairos Menuju Misi Inkulturatif Dan Profetik Di Era Otonomi Baru
OPINI

Gereja Papua Di Persimpangan Jalan: TUR Para Imam Sebagai Kairos Menuju Misi Inkulturatif Dan Profetik Di Era Otonomi Baru

Last updated: 15/10/2025 - 12:01
By Ronny Tiffa News
Share
Ilustrasi gedung gereja.
SHARE

Oleh : Yohanis Elia Sugianto

Sejak tanggal 13 Oktober kemarin, TUR (tour = dipahami sebagai sebuah perjalanan untuk bertemu dan berdialog bersama membahas isu-isu aktual) Papua VII telah diadakan. Pelaksanaan “TUR Para Imam se-Papua” yang berpusat di Merauke, rahim historis tempat benih iman Katolik pertama kali disemai di selatan Papua, bukanlah sekadar sebuah perhelatan seremonial. Peristiwa ini, jika dibaca melalui lensa sosio-antropologis, menandai sebuah momen krusial (kairos) di mana para gembala Gereja Lokal dihadapkan pada persimpangan jalan fundamental. Di satu sisi, terbentang warisan misi yang heroik sekaligus paternalistik dari para misionaris perintis Eropa, khususnya dari Ordo Misionaris Hati Kudus (MSC). Mereka tidak hanya membawa Injil, tetapi juga meletakkan fondasi peradaban modern melalui pendidikan dan kesehatan, sebuah legasi yang membentuk wajah Papua hingga hari ini. Di sisi lain, terbentang realitas Papua kontemporer yang sarat dengan kompleksitas politik Daerah Otonomi Baru (DOB), ancaman dislokasi sosial-budaya akibat eksploitasi sumber daya alam, dan jeritan keadilan ekologis yang semakin nyaring.

Opini ini berargumen bahwa keberlangsungan dan relevansi karya misi Gereja Katolik di Papua ke depan secara esensial bergantung pada kemampuannya untuk melakukan transformasi radikal. Transformasi ini menuntut pergeseran dari citra diri sebagai sebuah institusi pemberi pelayanan karitatif menjadi sebuah Gereja Lokal yang otentik, profetik, dan terinkulturasi secara mendalam. Pertemuan para imam se-Papua ini harus dijadikan titik pijak strategis untuk memulai dan mengarahkan perubahan berarti tersebut, jika Gereja tidak ingin tergerus oleh zaman dan kehilangan signifikansi kenabiannya.

Tantangan Misi dalam Lensa Sosio-Antropologis

Tantangan utama yang dihadapi Gereja Papua hari ini berakar pada perubahan struktur sosial yang berlangsung cepat dan seringkali brutal. Pertama, konteks Daerah Otonomi Baru (DOB) menciptakan arena politik baru yang ambigu. Di satu sisi, DOB membuka peluang bagi Gereja untuk menjadi mitra strategis pemerintah dalam pembangunan. Namun di sisi lain, ia menyajikan bahaya kooptasi yang nyata. Godaan untuk mendekati pusat kekuasaan demi mendapatkan hibah bagi sekolah atau subsidi bagi rumah sakit dapat secara perlahan membungkam suara kritis Gereja terhadap kebijakan yang tidak adil. Secara sosiologis, Gereja terperangkap dalam tegangan antara peran fungsional sebagai mitra pembangunan dan panggilan hakikinya sebagai penjaga moral dan suara kaum tertindas (Giay & Mote, 2005). Lebih jauh, DOB mengakselerasi migrasi dan urbanisasi, melahirkan masyarakat yang semakin heterogen dan berpotensi memicu gesekan sosial. Gereja ditantang untuk menjadi oase dialog dan jembatan perdamaian di tengah dinamika demografis yang kompleks ini.

Trending Now:  Sebuah Babak Baru Honai Besar Papua Pegunungan

Kedua, akselerasi pembangunan ekonomi yang berpusat pada eksploitasi sumber daya alam melahirkan ancaman dislokasi sosial dan ekologis yang serius. Bagi masyarakat adat Papua, tanah bukan sekadar aset ekonomi atau faktor produksi; ia adalah ibu, ruang hidup sakral yang menjadi inti dari identitas kosmologis dan komunal mereka, tempat arwah leluhur bersemayam. Ekspansi perkebunan kelapa sawit, deforestasi, dan operasi pertambangan masif seringkali terjadi dengan mengabaikan hak ulayat dan merusak lingkungan secara permanen. Hal ini tidak hanya memiskinkan masyarakat secara ekonomi tetapi juga mencabut mereka dari akar spiritual dan budayanya (Aditjondro, 2003). Dalam konteks ini, Gereja dihadapkan pada tantangan untuk melampaui pelayanan karitatif kepada para korban. Ia dipanggil untuk melakukan advokasi struktural yang berani, menyuarakan keutuhan ciptaan sebagaimana diamanatkan dalam Ensiklik Laudato Si’, dan secara konsisten berpihak pada mereka yang paling rentan.

Harapan Misi dari Perspektif Kebudayaan: Menuju Inkulturasi Otentik

Di tengah bayang-bayang tantangan tersebut, harapan terbesar bagi masa depan misi justru bersemi dari dalam, yakni melalui potensi inkulturasi yang mendalam. Sejarah awal misi di Papua Selatan, yang dipelopori oleh para imam MSC seperti Pastor Petrus Vertenten, menunjukkan adanya upaya etnografis yang serius untuk memahami dan berdialog dengan kebudayaan lokal, khususnya Marind-Anim (Vertenten, 1923). Namun, proses tersebut belumlah tuntas dan kini menghadapi tantangan baru. Arus globalisasi melalui media digital dan budaya populer menghadirkan “agama” baru bagi generasi muda, yang berisiko mengikis kearifan lokal sekaligus iman Kristiani.

Trending Now:  Pesta Baliho dan Politik Uang di Ujung Jalan Demokrasi

Harapan ke depan adalah Gereja secara sadar bergerak melampaui “inkulturasi artifisial”—yang seringkali hanya berupa ornamentasi liturgis seperti ukiran Asmat di altar atau iringan tifa—menuju “inkulturasi otentik”. Ini berarti sebuah dialog teologis yang jujur dan berkelanjutan antara Injil dengan nilai-nilai fundamental dalam kebudayaan Papua. Misalnya, bagaimana spiritualitas komunal masyarakat Papua yang kuat dapat memperkaya pemahaman Gereja universal tentang Trinitas dan Ekaristi? Bagaimana konsep waktu siklis dan penghormatan kepada leluhur dapat berdialog dengan eskatologi Kristiani? Gereja dipanggil untuk menjadi locus (tempat) di mana identitas ke-Papua-an dan identitas ke-Katolik-an tidak saling meniadakan, melainkan saling memperkaya dalam sebuah sintesis yang kreatif. Hanya dengan demikian, Gereja dapat menawarkan sebuah spiritualitas yang relevan dan membebaskan bagi masyarakatnya.

TUR Para Imam: Momentum Merumuskan Visi Pastoral Bersama

TUR Para Imam di Merauke harus dimaknai lebih dari sekadar forum silaturahmi atau berbagi pengalaman pastoral. Ini adalah momentum strategis untuk merumuskan sebuah visi dan sikap pastoral bersama sebagai “Gereja Papua”. Respons terhadap isu-isu krusial seringkali masih bersifat sporadis dan terfragmentasi antar keuskupan, sehingga kurang memiliki dampak yang signifikan. Pertemuan ini menjadi kesempatan emas untuk:

Membangun Solidaritas Profetik: Menyatukan suara dan sikap para imam dalam isu-isu keadilan sosial, hak asasi manusia, dan krisis ekologis. Ini bisa diwujudkan dalam bentuk surat pastoral bersama para Uskup se-Tanah Papua, pembentukan komisi keadilan dan perdamaian yang terkoordinasi, atau platform advokasi bersama di tingkat nasional.

Berbagi Praksis Pastoral Kontekstual: Menciptakan ruang bagi para imam untuk saling belajar. Seorang imam dari Keuskupan Agats-Asmat bisa berbagi praksis katekese melalui seni ukir, sementara seorang imam dari Keuskupan Jayapura dapat membagikan strategi pastoral kaum muda urban di tengah tantangan budaya digital. Pertukaran “hikmat dari lapangan” ini jauh lebih berharga daripada teori-teori pastoral yang steril.

Mendorong Regenerasi dan Pemberdayaan Awam: Merancang strategi bersama untuk formasi calon imam yang tidak hanya matang secara spiritual, tetapi juga peka secara sosial dan budaya. Lebih penting lagi, memberdayakan kaum awam bukan hanya untuk tugas-tugas internal gereja (lektor, prodiakon), tetapi membentuk mereka menjadi rasul-rasul awam di tengah dunia: sebagai politisi yang bersih, guru yang berdedikasi, dan aktivis masyarakat yang berintegritas.

Trending Now:  Pertamina Perlu Jadi Pelopor Menuju Transisi Energi di Masa Depan

Kesimpulan

Masa depan Gereja Katolik dan keberlangsungan karyanya di Tanah Papua tidak akan ditentukan oleh megahnya bangunan gereja atau besarnya dana bantuan yang diterima. Ia akan ditentukan oleh relevansinya di hadapan suka dan duka, harapan dan kecemasan konkret yang dihadapi umatnya. Warisan para misionaris perintis telah meletakkan fondasi yang kokoh. Kini, di era Otonomi Baru, para imam sebagai gembala umat, bersama seluruh komponen Gereja Lokal Papua, dipanggil untuk membangun di atas fondasi itu sebuah “rumah” yang benar-benar berwajah Papua: sebuah Gereja yang kokoh berakar dalam tanah budaya Papua, namun cabangnya terbuka menyambut langit universal Injil. TUR Para Imam di Merauke dapat menjadi titik tolak perubahan berarti jika ia mampu memantik kesadaran kolektif dan melahirkan komitmen bersama untuk mewujudkan Gereja yang berani bersuara di padang gurun ketidakadilan, sekaligus setia menjadi oase harapan dan persekutuan bagi semua orang.

Daftar Pustaka

Aditjondro, G. J. (2003). Gereja, Negara, dan Modal di Papua. Dalam Jurnal Analisis Sosial, Edisi Khusus Papua.

Fransiskus. (2015). Laudato Si’: On Care for Our Common Home [Ensiklik]. Vatikan.

Giay, B., & Mote, O. (2005). Membongkar Akar Kekerasan di Papua: Sebuah Analisis Sosial, Politik, dan Budaya. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

Hylkema, S. (1974). Mannen in het Draagnet: Mens- en Wereldbeeld van de Nalum (Sterrengebergte). Martinus Nijhoff.

Prior, J. M. (1995). Gereja dan Pembangunan di Indonesia: Tinjauan Kritis dari Sisi Korban. Penerbit Kanisius.

Vertenten, P. (1923). Vijftien Jaar bij de Koppensnellers van Nederlandsch Zuid-Nieuw-Guinea. De Vlijt.

You Might Also Like

Merawat Akar, Menumbuhkan Masa Depan: Kontekstualisasi Pekan Budaya Papua Selatan Sebagai Fondasi Peradaban Berkelanjutan

Ferdinandus Kainakaimu, Fajar Harapan Birokrasi di Papua Selatan*

Selamat Bertugas Sekretaris Daerah Provinsi Papua Selatan

Tanah Adat di Papua Selatan: Antara Ekspansi Korporasi dan Panggilan Keadilan Filosofis

Ronny Tiffa News 15/10/2025
Share this Article
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Telegram Email Print
What do you think?
Love0
Sad0
Happy0
Sleepy0
Angry0
Dead0
Wink0
Previous Article Kasus Korupsi Dana PAUD Papua Selatan, Polisi Dalami Kemungkinan Tersangka Baru
Next Article Hari Pertama, Sekda Papua Selatan Ferdinandus Kainakaimu “Tancap Gas” Benahi Birokrasi
Leave a comment

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow US

Find US on Social Medias
Facebook Like
Twitter Follow
Youtube Subscribe
Telegram Follow
- Advertisement -
Ad imageAd image
- Advertisement -
Ad imageAd image
newsletter featurednewsletter featured

Weekly Newsletter

Kirim Email Anda agar bisa kami infokan berita pilihan terpopuler

Popular News
BERITA

Bahas Masa Depan Media Lokal, tiffanews Hadiri Local Media Summit 2025

By bungben 6 days ago
Presiden Prabowo Lantik Pengurus Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua
Local Media Summit 2025, Wamenkomdigi Nezar Patria: AI Tak Bisa Gantikan Nurani Jurnalis
Presiden Prabowo Lantik Gubernur dan Wakil Gubernur Papua
Local Media Summit 2025, Suwarjono: Media Lokal Hadapi Tantangan Berat di Tengah Disrupsi Teknologi

SUARNEWS.COM

about us

We influence 20 million users and is the number one business and technology news network on the planet.

  • BERITA
  • PON XX 2021
  • GALERI
  • KAMTIBMAS
  • NUSANTARA
  • PUSTAKA
  • GAYA HIDUP
  • JEJAK
  • SUARNEWS
  • INTAN JAYA
  • Susunan Redaksi
  • Tentang Kami
  • Contact
  • Privacy Policy
  • Disclaimer

Find Us on Socials

© TIFFANews Network. RAKA GENDIS.id Company. All Rights Reserved. Suar News

Removed from reading list

Undo
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?