TIFFA NEWSTIFFA NEWS
  • HOME
  • BERITA
  • OLAHRAGA
  • KAMTIBMAS
  • POLITIK
  • PPS
  • NUSANTARA
  • GALERI
  • OPINI
  • OTHERS
    • PUSTAKA
    • BUDAYA
    • EKONOMI
    • HANKAM
    • HAM
    • JEJAK
    • GAYA HIDUP
    • INTAN JAYA
    • SOSOK
Search
Reading: Ramai Soal Pemilu Nasional dan Daerah, Tapi Masalah Utamanya Bukan Itu
Share
TIFFA NEWSTIFFA NEWS
Search
  • HOME
  • BERITA
  • OLAHRAGA
  • KAMTIBMAS
  • POLITIK
  • PPS
  • NUSANTARA
  • GALERI
  • OPINI
  • OTHERS
    • PUSTAKA
    • BUDAYA
    • EKONOMI
    • HANKAM
    • HAM
    • JEJAK
    • GAYA HIDUP
    • INTAN JAYA
    • SOSOK
Have an existing account? Sign In
Follow US
© 2022 RAKA for Tiffa Company. All Rights Reserved.
TIFFA NEWS > News > BERITA > Ramai Soal Pemilu Nasional dan Daerah, Tapi Masalah Utamanya Bukan Itu
BERITAPOLITIK

Ramai Soal Pemilu Nasional dan Daerah, Tapi Masalah Utamanya Bukan Itu

Last updated: 01/07/2025 - 05:34
By bungben
Share
ilustrasi
SHARE

Oleh Benjamin Tukan 

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 membuka jalan bagi pemisahan pemilu nasional (presiden dan legislatif pusat) dan pemilu daerah (gubernur, bupati/wali kota dan DPRD).  MK juga menetapkan bahwa jarak antara keduanya maksimal 2 tahun 6 bulan. Amar putusan ini dibacakan langsung oleh Ketua MK, Suhartoyo, di Gedung MK, Kamis 26 Juni 2025.

Putusan ini sontak menimbulkan perdebatan luas dan semakin meramaikan diskusi publik. Ada yang menolak, ada yang menerima putusan ini. Mereka yang menerima menyambutnya sebagai jalan keluar dari kelelahan teknis dan tumpang tindih kampanye, sebagian lain menilai sebagai kemunduran demokrasi. Di balik gemuruh debat soal format pemilu, pertanyaan yang lebih mendasar justru luput, apakah perubahan teknis ini mampu menyentuh akar persoalan yang selama ini merusak kualitas demokrasi kita?

Perdebatan adalah hal yang lumrah untuk menjadi pertimbangan menyusun aturan teknis dalam mencapai hasil yang berkualitas. Namun, bila kemudian perdebatan menjurus pada kalkulasi politik dan melupakan substasi masalah yang perlu diperbaiki bersama-sama, maka tidak ada yang menarik dari putusan pemisahan ini.

Dalam dunia politik, ada ungkapan sinis namun menggugah: “Habis pemilu adalah awal dari pemilu berikutnya.” Ungkapan ini mencerminkan realitas bahwa kompetisi politik tak pernah benar-benar usai. Begitu satu pemilu selesai, mesin partai dan para politisi segera bersiap menghadapi kontestasi berikutnya.  Siklus ini menggambarkan betapa kuatnya orientasi politik kita terhadap kekuasaan dan betapa padatnya ritme demokrasi elektoral di negeri ini.

***

Pihak yang mendukung pemisahan pemilu nasional dan daerah berangkat dari harapan akan peningkatan kualitas demokrasi. Mereka menilai, pemilu serentak 5 kotak suara membuat pemilih kesulitan memahami visi dan misi para kandidat karena tumpang tindihnya kampanye legislatif nasional, pilpres, dan legislatif daerah. Dengan pemisahan, pemilih bisa lebih fokus menilai calon berdasarkan isu dan kapasitas masing-masing, tanpa terdistraksi hiruk-pikuk kontestasi lain.

Salah satu argumen kuat lainnya adalah keinginan mengurangi efek “ekor jas” atau coattail effect. Dalam sistem serentak, partai kecil kerap bergantung pada popularitas calon presiden untuk mendulang suara legislatif. Pemisahan jadwal pemilu mendorong partai politik membangun kekuatan ideologis dan struktural secara mandiri, tanpa menumpang ketokohan kandidat nasional. Tapi apakah akan seperti itu? Bukankah Presiden terpilih memiliki pengaruh yang kuat di Pemilu Lokal? Kita lihat saja nanti.

Dari aspek teknis, para pendukung pemisahan melihatnya sebagai solusi atas beban berat yang ditanggung penyelenggara pemilu. Tragedi pada Pemilu 2019, meninggalnya petugas KPPS  karena kelelahan, menjadi peringatan serius. Pemisahan dianggap mampu membagi beban kerja, memperkecil risiko logistik, serta memberikan ruang waktu yang cukup bagi persiapan dan evaluasi antara satu pemilu dengan pemilu lainnya.

Trending Now:  KNPI Merauke Dukung dan Dorong Pemerataan Program Makan Bergizi: Jangan Lupakan Anak di Pelosok!

Pemisahan juga memberi keuntungan besar bagi penguatan demokrasi lokal. Dalam pemilu serentak, isu-isu daerah kerap terabaikan karena dominasi pemberitaan dan perhatian publik pada pilpres dan legislatif nasional. Dengan jadwal terpisah, pemilu kepala daerah dan legislatif daerah bisa lebih menonjolkan masalah daerah seperti pendidikan, kesehatan, atau tata kelola desa yang lebih relevan bagi masyarakat setempat. Ini juga mendorong lahirnya kandidat kepala daerah dan legislatif daerah yang benar-benar punya basis dan rekam jejak kuat di tingkat lokal.

Akhirnya, pihak yang mendukung pemisahan ini meyakini bahwa pemisahan dapat menciptakan stabilitas politik yang lebih terjaga. Jika seluruh pemilu dilakukan serentak dan hasilnya menimbulkan ketegangan, potensi konflik horizontal dapat terjadi secara luas dan bersamaan. Dengan pemisahan, eskalasi ketegangan bisa lebih terkontrol, dan proses demokrasi dapat berlangsung secara lebih bertahap dan terukur serta politik desentralisasi pun mulai ditata ke arah yang lebih baik.

***

Pihak yang menolak pemisahan pemilu berangkat dari pertimbangan konstitusional dan efisiensi. Mereka mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi sendiri, melalui Putusan No. 14/PUU-XI/2013, pernah menegaskan bahwa pemilu serentak adalah amanat konstitusi demi efisiensi dan keadilan pemilu. Karena itu, pemisahan pemilu justru dinilai sebagai langkah inkonsisten yang menimbulkan ketidakpastian hukum serta membuka ruang tafsir yang bertentangan dengan prinsip kepastian konstitusional.

Dari aspek anggaran, pemilu yang dipisah jelas akan menggandakan beban negara. Setiap tahapan harus dilakukan dua kali dari pengadaan logistik, penyusunan DPT, pelatihan petugas, distribusi perlengkapan, hingga pengawasan dan keamanan. Artinya, biaya politik dan administratif akan meningkat signifikan, bukan hanya bagi pemerintah pusat, tapi juga bagi pemerintah daerah. Di tengah keterbatasan fiskal nasional, ini menjadi sorotan serius.

Konsekuensi lainnya adalah perpanjangan tensi politik di ruang publik. Jika pemilu dilakukan dua kali dalam jeda waktu yang relatif pendek, masyarakat akan terus-menerus disuguhi kampanye, propaganda, hingga polarisasi opini. Alih-alih menciptakan stabilitas, situasi ini justru memperpanjang konflik sosial-politik dan memperlelah partisipasi warga dalam proses politik yang berkepanjangan.

Konsekuensi lanjutan dari pemisahan ini adalah kekosongan masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah. Sebab, pemilu daerah baru akan dihelat dua tahun atau maksimal dua setengah tahun setelah pemilu nasional 2029, yakni pada 2031, sementara masa jabatan kepala daerah dan legislatif daerah akan berakhir di 2029-2030. Kendati ini bisa dipandang sebagai fase transisi, tapi spekulasi perpanjang atau tidak diperpanjang akan menyulitkan kerja-kerja pemerintahan lokal, bila keputusan teknis pemilu tidak segera diambil dari sekarang.

Trending Now:  Pj. Gubernur Papua Selatan Ajak Masyarakat Ikut Pekan Imunisasi Nasional 2024 demi Pencegahan Polio

Perpanjangan masa jabatan ini, juga berpengaruh pada pergantian kepengurusan dalam partai yang rata-rata memiliki masa jabatan lima tahun, atau sudah mengagendakan pergantian pengurus  dari sekarang. Sebab, dinamika dalam “dapur-nya” para politisi ini akan sangat berpengaruh pada kompetisi politik di pemilu. Begitu pun terlalu panjangnya masa jabatan bisa berisiko meningkatkan kejenuhan politik  masyarakat akan figur-figur anggota legislatif daerah yang akan mencalonkan kembali.

Hal yang paling krusial dari pemisahan pemilu ini adalah pemisahan antara pemilu legislatif nasional (DPR RI) dan legislatif daerah (DPRD). Diakui atau tidak, selama ini suara yang diperoleh legislatif nasional banyak ditentukan oleh kerja-kerja politik calon legislatif lokal, walau banyak pula calon lokal terpilih karena suport dari calon legislatif nasional yang bertarung dalam pemilu yang sama.

Sekarang, jika pemisahan itu terjadi, resiko untuk mendulang suara akan menemukan banyak tantangan, kecuali ada peran partai yang menyatukan kerja sama anggotanya di setiap pemilu. Begitu pun, jika pemisahan ini terjadi, para “petualang politik” dari calon-calon nasional, akan sulit memasuki daerah yang tidak dikenalnya, sebab  yang terpilih hanya benar-benar dikenal di daerah itu. Untuk DPD tidak ada masalah, karena tidak banyak berubah.

***

Sebenarnya tidak mesti dipandang terlalu rumit menjelaskan perubahan pemilu menjadi pemilu nasional dan pemilu lokal. Sebelumnya kita sudah melaksanakan dua kali pemilu yaitu Pemilu Serentak dan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada). Sekarang pemilu legislatif daerah digeser bersamaan dengan pemilu kepala daerah.Begitu pun, tidak sulit juga memahami mengapa terjadi semacam penolakan.

Persoalan yang jauh lebih mendasar dan yang sering terjadi dalam setiap pemilu yakni maraknya politik uang (money politics) dan  dominasi oligarki partai. Perdebatan teknis seperti pemisahan atau penyatuan pemilu hanya menjadi instrumen prosedural yang tidak menyentuh akar persoalan demokrasi kita. Tanpa perubahan sistemik dalam budaya politik dan rekrutmen kader, pemilu dalam bentuk apa pun akan tetap sarat masalah.

Politik uang dan politik berbiaya tinggi masih menjadi momok yang merusak integritas pemilu. Di setiap pemilu atau pun pilkada, praktik ini masih berlangsung. Calon legislatif atau kepala daerah kerap menggelontorkan uang tunai, sembako, atau jasa tertentu menjelang hari pemungutan suara. Ini menjadikan suara rakyat sebagai komoditas, bukan ekspresi rasional berdasarkan program atau visi-misi kandidat.Belum lagi soal beli kursi partai untuk dapat memenuhi syarat pencalonan kepala daerah, atau biaya nomor urut untuk calon legislatif. Politisi tanpa modal ekonomi, lebih banyak harus tahu diri.

Trending Now:  Paskalis Imadawa Perintahkan Pembuatan Perda Pecandu Lem Aibon, DPD RI dan Aktivis Ikut Angkat Bicara

Selain itu, kecurangan administratif dan teknis juga terus menghantui proses pemilu. Manipulasi daftar pemilih tetap (DPT), pemindahan lokasi TPS secara mendadak, hingga kesalahan dalam input data baik secara manual maupun melalui sistem digital seperti Sirekap, membuat kepercayaan publik terhadap hasil pemilu kerap dipertanyakan. Keberulangan masalah ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan minimnya reformasi kelembagaan.

Ketidaknetralan aparatur Negara termasuk ASN, kepala desa, hingga aparat keamanan juga menjadi isu klasik yang belum tuntas diatasi. Banyak pembicaraan usai pemilu menyebutkan adanya keberpihakan terselubung terhadap kandidat tertentu, baik melalui instruksi tersirat maupun mobilisasi massa, namun semua itu terlewatkan dan dianggap biasa biasa saja. Praktik ini tentu menciderai asas keadilan pemilu dan memperkuat kesan bahwa kontestasi politik dikuasai oleh kekuatan struktural dan uang, bukan oleh kehendak rakyat.

Tak kalah serius adalah derasnya arus hoaks, disinformasi, dan polarisasi di ruang publik, terutama di media sosial. Pemilu 2014 dan 2019 menjadi bukti bagaimana kontestasi politik bisa membelah masyarakat ke dalam kubu-kubu ideologis yang saling mencurigai. Di sisi lain, beban berat yang ditanggung penyelenggara seperti KPPS dan KPU dalam pemilu serentak nasional turut menambah kompleksitas.

***

Dalam hiruk pikuk perdebatan, sering kali substansi pemilu atau hal-hal yang merusak demokrasi dan pemilu justru terabaikan. Alih-alih membahas akar persoalan demokrasi, perhatian publik dan elit politik lebih tertuju pada satu hal, kepastian teknis, apakah pemilu akan dipisah atau tetap serentak dan bagaimana juklak juknisnya. Kepastian ini dianggap penting bukan untuk memperbaiki kualitas demokrasi, tetapi agar setiap pihak bisa segera menyusun taktik dan strategi kekuasaan. Dalam logika ini, pemilu diperlakukan sebagai ajang kalkulasi politik, bukan ruang evaluasi dan perbaikan sistem demokrasi itu sendiri.

Jika perdebatan ini hanyalah kalkulasi politik yang orientasinya semata pada strategi perebutan atau mempertahankan kekuasaan, maka harapan untuk menghasilkan pemilu yang berkualitas tampaknya masih jauh dari kenyataan. Bahkan dalam dua atau tiga pemilu ke depan, kualitas demokrasi belum tentu membaik jika masalah mendasar seperti politik uang, dominasi oligarki partai, dan rendahnya literasi politik pemilih tidak diatasi. Mungkin hanya setelah berbagai format dicoba dan hasilnya stagnan, barulah bangsa ini menyadari bahwa yang perlu dibenahi bukan hanya cara memilih, tetapi juga cara berpikir tentang demokrasi itu sendiri.@

 

You Might Also Like

Pemprov Papua Selatan Apresiasi 25 Tahun Imamat Pastor Hendrikus Kariwop

Bupati Intan Jaya Terima Penghargaan The Best Figure Regent 2025

Frits Tobo Wakasu: Pemuda Papua Selatan Harus Menjaga Jati Diri Lewat Nilai-Nilai Kebangsaan

Frits Wakasu Bangkitkan Nasionalisme Ratusan Mahasiswa Merauke Lewat Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan

TAGGED: Pemilu Serentak, Pro kontra pemilu, Putusan MK Soal Pemilu
bungben 01/07/2025
Share this Article
Facebook Twitter Whatsapp Whatsapp Telegram Email Print
What do you think?
Love0
Sad0
Happy0
Sleepy0
Angry0
Dead0
Wink0
Previous Article Bupati Intan Jaya Terima Penghargaan The Best Figure Regent 2025
Next Article Pemprov Papua Selatan Apresiasi 25 Tahun Imamat Pastor Hendrikus Kariwop
Leave a comment

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow US

Find US on Social Medias
Facebook Like
Twitter Follow
Youtube Subscribe
Telegram Follow
- Advertisement -
Ad imageAd image
- Advertisement -
Ad imageAd image
newsletter featurednewsletter featured

Weekly Newsletter

Kirim Email Anda agar bisa kami infokan berita pilihan terpopuler

Popular News
BERITAPPS

Mantan Danrem 174/ATW Brigjen TNI Agus Widodo Jabat Dirjen Strahan Kemhan

By Ronny Tiffa News 6 days ago
BNPT dan FKPT Papua Selatan Galang “Rembuk Merah Putih” Lawan Radikalisme Lewat Cinta dan Tinta
Putra Asal Papua Selatan Gabung AMPI: Jefri Gultom Mantan Ketum GMKI Merapat ke Golkar
Pemprov Papua Selatan Apresiasi 25 Tahun Imamat Pastor Hendrikus Kariwop
Ribuan Umat Muslim di Merauke Meriahkan Kirab Tahun Baru Islam 1 Muharam 1447 H

SUARNEWS.COM

about us

We influence 20 million users and is the number one business and technology news network on the planet.

  • BERITA
  • PON XX 2021
  • GALERI
  • KAMTIBMAS
  • NUSANTARA
  • PUSTAKA
  • GAYA HIDUP
  • JEJAK
  • SUARNEWS
  • INTAN JAYA
  • Susunan Redaksi
  • Tentang Kami
  • Contact
  • Privacy Policy
  • Disclaimer

Find Us on Socials

© TIFFANews Network. RAKA GENDIS.id Company. All Rights Reserved. Suar News

Removed from reading list

Undo
Welcome Back!

Sign in to your account

Lost your password?