TIFFANEWS.CO.ID – Wakil Gubernur Papua Selatan, Paskalis Imadawa, secara tegas menyampaikan keprihatinannya atas dampak kebijakan efisiensi anggaran terhadap pembangunan di provinsi baru tersebut. Dalam pertemuan dengan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI, Paskalis yang didampingi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Riset, dan Inovasi Daerah (Bapperida) Papua Selatan, Ulmi Listianingsih Wayeni, mengungkapkan tujuh masalah kritis yang dihadapi Papua Selatan pasca-terbitnya Inpres Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja APBN dan APBD.
Paskalis menyatakan bahwa kebijakan efisiensi ini justru “mematikan semangat” pembangunan di Papua Selatan, yang masih sangat bergantung pada dukungan anggaran pusat sebagai daerah otonom baru (DOB).
“Provinsi baru ini baru lahir dan tiba-tiba semangatnya dicabut, ibarat bayi yang masih membutuhkan inkubator.” ujarnya dengan nada prihatin di Jakarta pada Rabu (30/4/2025).
Salah satu dampak paling nyata adalah terhentinya pembangunan sejumlah kantor pemerintahan, termasuk Kantor Majelis Rakyat Papua Selatan (MRP), Kantor DPRP, dan Kantor Gubernur, yang saat ini masih dalam tahap pembangunan namun terkatung-katung akibat ketidakpastian anggaran.
Tidak hanya itu, proyek-proyek infrastruktur dasar seperti pembangunan jalan, jembatan, jaringan listrik, dan air bersih juga mengalami stagnasi. Padahal, infrastruktur tersebut merupakan prioritas utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
“Kami kesulitan membangun hal-hal yang seharusnya menjadi hak dasar rakyat Papua Selatan,” ujar Paskalis. Mantan Wakil Ketua MRP Papua Selatan ini menegaskan bahwa efisiensi anggaran tidak seharusnya mengorbankan pembangunan di daerah yang masih sangat tertinggal.
Permasalahan lain yang turut disorot adalah ketidakjelasan formula dan alokasi dana otonomi khusus (otsus) pasca-penerapan Inpres tersebut. Paskalis mempertanyakan mengapa dana otsus yang seharusnya menjadi tulang punggung pembangunan di Papua justru mengalami pemotongan signifikan tanpa kejelasan mekanisme penggantinya.
“Jika ada formula baru, kami butuh penjelasan detail agar bisa menyusun strategi,” tegasnya. Selain itu, ia juga meminta adanya fleksibilitas dalam penggunaan dana otsus untuk kebutuhan mendesak, mengingat banyaknya proyek strategis yang terhambat.
Wagub Paskalis juga menyoroti perlunya dukungan fiskal tambahan khusus bagi DOB seperti Papua Selatan. Imadawa berharap ada sinergi yang lebih kuat antara pemerintah provinsi dengan Kemenkeu, Kemendagri, dan Bappenas untuk memastikan bahwa kebijakan nasional tidak justru memperlebar ketimpangan pembangunan.
“Kami membutuhkan forum konsultasi rutin, bisa bulanan atau semesteran, agar ada ruang dialog untuk mencari solusi,” ujarnya.
Transparansi dalam pengelolaan anggaran juga menjadi poin penting yang ia sampaikan, agar dana yang tersisa dapat dimanfaatkan secara optimal dan sesuai aturan.
Menanggapi hal tersebut, Ardimansyah, Kepala Subdirektorat Dana Insentif Daerah, Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Kemenkeu, menyarankan agar Pemerintah Provinsi Papua Selatan memanfaatkan Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) sebagai alternatif sementara.
“Papua seharusnya bersyukur karena masih mendapat DTI, yang bisa dialokasikan untuk pembangunan gedung perkantoran, listrik, telekomunikasi, dan air bersih,” katanya. Ia juga mendorong percepatan penyerapan APBD dan penyelesaian Rencana Anggaran Pelaksanaan (RAP) agar output pembangunan bisa tercapai.
Namun, Ardimansyah mengingatkan agar pemerintah provinsi bersabar menunda proyek infrastruktur baru sambil menunggu kebijakan lebih lanjut dari pusat. Ia mencontohkan bahwa Inpres Nomor 8 Tahun 2025 tentang pengentasan kemiskinan ekstrem bisa menjadi pintu masuk untuk mengalokasikan anggaran yang tersisa.
“Fokus dulu pada belanja yang tidak terkena pemotongan, seperti rehabilitasi irigasi untuk mendukung swasembada pangan,” sarannya.
Pertemuan ini menyisakan sejumlah pertanyaan kritis: Apakah kebijakan efisiensi anggaran justru mengorbankan daerah-daerah tertinggal seperti Papua Selatan? Bagaimana pemerintah pusat memastikan bahwa pemotongan dana tidak memperparah ketimpangan pembangunan? Dan yang terpenting, apakah janji keadilan bagi Papua melalui otonomi khusus masih bisa diwujudkan jika anggaran terus dipangkas tanpa solusi alternatif?
Dengan kondisi saat ini, masa depan Papua Selatan sebagai DOB masih berada di ujung tanduk. Jika tidak ada intervensi serius dari pusat, bukan tidak mungkin provinsi ini akan semakin tertinggal, dan yang paling dirugikan adalah rakyat kecil yang terus menunggu janji pembangunan. (Ron)