TIFFANEWS.CO.ID – Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI) mendorong lima agenda strategis untuk pembaruan tata kelola hutan Indonesia dalam revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Lima agenda strategis ini diharapkan dapat menjadi awal perubahan UU 41/1999, bukan sekadar revisi, melainkan perubahan paradigmatik dan progresif dalam penyelenggaraan kehutanan yang selama ini lebih berorientasi produksi dan eksploitasi daripada perlindungan hutan sebagai penyangga kehidupan.
Usulan tersebut disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi IV DPR RI terkait revisi UU Kehutanan, Selasa (15/7/2025).
Dalam RDPU, FDKI memaparkan Matriks Uji Konsep Revisi UU Kehutanan, yang disusun melalui serangkaian Focus Group Discussion (FGD) antara Maret hingga Juli 2025.
Proses ini melibatkan perwakilan Komisi IV DPR, pakar hukum dan kehutanan dari UGM, UI, IPB University, Universitas Mataram, Universitas Pattimura, organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan, serta perwakilan masyarakat adat dan lokal.
“Revisi UU Kehutanan tidak bisa sekadar menambal regulasi lama. Kita butuh perubahan paradigma, dari pendekatan sentralistik yang lebih mengutamakan eksploitasi untuk kepentingan produksi, menuju tata kelola hutan berbasis hak masyarakat adat, prinsip keadilan ekologis, dan integritas tata kelola,” tegas perwakilan FDKI.
Lima Agenda Strategis
Matriks Uji Konsep tersebut menggarisbawahi lima agenda perubahan utama, yaitu, pertama, pengakuan tegas atas hutan adat dan hak masyarakat adat, terdiri dari menetapkan status hutan menjadi hutan negara, hutan hak, dan hutan adat, selaras dengan Putusan MK 35/2012 dan pengakuan wilayah adat berbasis fakta sosial budaya, bukan administratif semata.
Kedua, Reklasifikasi fungsi hutan yaitu hutan permanen dan hutan dicadangkan. Hutan permanen ditetapkan secara sah, tidak dapat dikonversi, termasuk hutan adat, kawasan konservasi, dan lindung. Hutan dicadangkan adalah kawasan yang belum ditetapkan permanen, dapat dialokasikan ulang secara adil dan partisipatif.
Ketiga, Penetapan ambang batas ekologis di setiap wilayah. Ambang batas minimum luas kawasan hutan minimal 30% dari luas daratan provinsi, kecuali di pulau-pulau kecil (<2.000 km²), kawasan pesisir, dan daerah aliran sungai (DAS) yang sebagian besar bahkan secara keseluruhan kawasan berhutannya harus dilindungi. Ambang batas ini bersifat mutlak dan tidak dapat dikurangi, termasuk untuk kepentingan proyek strategis negara (PSN).
Keempat, Reformasi perizinan dan pencegahan korupsi. Poin yang ditekankan adalah, 1) memperketat perizinan kehutanan, wajib transparan dan partisipatif. 2) Pencabutan izin jika terbukti terjadi korupsi, pelanggaran ruang, atau konflik dengan masyarakat adat atau lokal. Dan 3) Pemisahan skema perizinan korporasi dengan perhutanan sosial.
Kelima, Penguatan inventarisasi, data terbuka, dan partisipasi publik. Inventarisasi hutan wajib partisipatif dan melibatkan masyarakat lokal/adat. Data kehutanan wajib diperbarui setiap tahun dan tersedia secara terbuka. Sanksi administratif hingga pidana bagi instansi yang lalai memperbarui data.
Catatan Kritis terhadap DPR
FDKI meyoroti sejumlah kelemahan dalam draft uji materi Revisi UU Kehutanan versi DPR. Salah satunya adalah narasi bahwa “seluruh hutan dikuasai oleh negara” yang bertentangan dengan Putusan MK 35/2012.
Selain itu, tidak ada pembatasan pelepasan kawasan hutan di wilayah yang sudah berada di bawah ambang batas ekologis. ““Draf uji materi DPR juga masih minim perlindungan hak masyarakat adat dan belum menjamin keterbukaan informasi,” imbuh FDKI.
Dengan 54% kawasan hutan Indonesia saat ini dialokasikan untuk fungsi produksi, revisi UU Kehutanan adalah momentum koreksi besar. “Tidak cukup bicara konservasi secara normatif. Kita butuh hutan permanen yang dilindungi tegas, pengakuan hak masyarakat adat yang nyata, dan perizinan yang bersih dari korupsi,” tegas FDKI.
FDKI mengajak seluruh pemangku kepentingan, baik di parlemen maupun eksekutif, untuk melihat revisi UU Kehutanan sebagai langkah strategis membangun masa depan Indonesia yang adil secara ekologis, menghormati hak lokal dan adat, dan menjaga hutan sebagai penyangga kehidupan bangsa.
Untuk diketahui, Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI) merupakan forum dialog, kajian, dan advokasi terhadap isu dan kebijakan di sektor lingkungan hidup di Indonesia. Forum tersebut saat ini beranggotakan sembilan organisasi masyarakat sipil (OMS) di Indonesia yang berfokus pada isu sosial dan ekologi, antara lain: Sawit Watch, Yayasan KEHATI, Garda Animalia, Yayasan Penabulu, Perkumpulan HUMA, Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Indonesia Oceans Justice Initiative (IOJI), Forest Watch Indonesia (FWI), Indonesia Parlimentary Centre (IPC), Yayasan PILI, dan Sajogjo Institute.(*)