TIFFANEWS.CO.ID,-Pendiri Ekologi Papua Institute, Titus Pekei mengatakan sebagai pulau terbesar kedua di dunia, Pulau Papua dikaruniai kekayaan alam dan keragaman ekosistem yang sangat luar biasa.
Namun demikian, kata Titus Pekei, dalam dekade terakhir ini Papua mengalami perubahan yang sangat cepat dan dramatis yang berakibatkan terjadi kerusakan ekosistem dimana mana yang sangat parah.
Untuk mengatasi hal itu, lanjut Titus Pekei, diperlukan penegakan hukum, pendidikan lingkungan, pembangunan berkelanjutan, pemberdayaan masyarakat dan kerjasama multipihak.
Titus Pekei mengatakan hal itu saat menjadi nara sumber dalam seminar dan lokakarya sehari dengan Topik, “Pendidikan Ekologi dan Lingkungan Hidup di Papua”, di Pantai Marimoi, Distrik Nabire Timur, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua Tengah, (Rabu 28/2/2024).
Seminar yang diselenggarakan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Papua, Green Papua, dan Lembaga Bantuan Hukum Talenta Keadilan Papua (LBH TKP), menampilkan 4 pemateri diantaranya, materi pertama diberikan oleh LBH Talenta Keadilan Papua, Ricahrdani Nawipa dengan Topik, ‘Hak Atas Tanah’. Materi kedua diberikan oleh Maikel Perimus Peuki selaku Direktur WALHI Papua dengan Topik, ‘Hak Atas Lingkungan Hidup’.
Materi ketiga diberikan oleh Titus Pekei selaku Pencetus Noken Papua di UNESCO [PBB] yang juga pendiri Ekologi Papua Institute dengan Topik, ‘Ekologi Papua’. Dan, materi yang keempat oleh Yohanes Giyai selaku Biro Pendidikan Green Papua Pusat di Jayapura.
Titus Pekei dalam kesempatan itu, menguraikan berbagai faktor sebagai ancaman kerusakan ekologi Papua, seperti maraknya penebangan hutan, pertambangan, perubahan pangan dan faktor perubahan iklim.
“Penebangan hutan yang masif untuk kepentingan apa saja termasuk untuk pertambangan, menjadi sangat mengkhawatirkan akan membawa dampak paling buruk bagi ekologi Papua,” ujarnya.
Titus menjelaskan, Papua memiliki banyak sumber daya alam, seperti emas, tembaga dan perak serta minyak bumi dan lainnya, namun pengelolaan cendrung ekspolitatif, tidak memikirkan masa depan para penghuni di pulau ini, dan tidak memperhatikan ancaman pemanasan global dan perubahan iklim.
” Sudah jelas bahwa ekspolitasi sumber daya alam melalui pertambangan menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius,” kata Titus.
Belum lagi, lanjut putra Mee ini, perubahan pangan lokal merubah pola makan warga masyarakat adat Papua, dimana konsumsi beras, dan makanan instan seperti supermi, pop mie, kuku bima dan ekstar jos dan lainnya sudah menjadi ketergantungan.
“Hal ini dapat menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan warga masyarakat asli Papua, terutama generasi usia muda banyak meninggal dunia karena menurunnya kekebalan pertahanan tubuhnya,” ujar Titus yang sudah menulis banyak buku dan artikel seputar budaya Papua, ekologi dan noken ini.
Titus yang membawa makalah berjudul “Pendidikan Ekologi dan Lingkungan Hidup di Papua” itu, menawarkan beberapa solusi dalam menjaga alam Papua di tengah tuntutan perkembangan masyarakat termasuk masyarakat dunia.
Pertama, Penegakan hukum: Pemerintah perlu menegakkan hukum yang melindungi lingkungan dan sumber daya alam Papua.
Kedua, Pendidikan lingkungan: Masyarakat perlu dididik tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Ketiga, Pembangunan berkelanjutan: Pembangunan di Papua harus dilakukan dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan.
Keempat, Pemberdayaan masyarakat adat: Masyarakat adat harus diberdayakan untuk mengelola dan melindungi wilayah adat mereka.
Kelima, Kerjasama multipihak: Pemerintah, masyarakat adat, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta perlu bekerja sama untuk melestarikan ekologi Papua.
Tujuan dari kegiatan seminar dan lokarya ini adalah sharing tentang pengetahuan dan pengalaman tentang isu-isu Lingkungan dari Luar Papua atau Internasional juga nasional, hingga ke daerah, dan pengaruh dampak kerusakan lingkungan di Tanah Papua. (bn)