Oleh: Peter Tukan*
MATA publik di Merauke, ibukota Provinsi Papua Selatan (PPS) pada pekan terakhir ini melihat secara terang benderang Pj.Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Papua Selatan (PPS) Drs Madaremmeng dan Bupati Merauke, Drs Romanus Mbaraka,MT “makan siang bersama” dalam suasana penuh keakraban, santai- bercanda ria, tetapi juga sekali-sekali raut wajah keduanya terlihat serius kening berkerut saat berbicara saling bertatap muka.
Terkadang pula, di meja makan itu, gerak tubuh keduanya terlihat seperti sedang saling membisikkan sesuatu ke telinga, mungkin Madaremmeng dan Romanus sedang membicarakan sesuatu yang tingkat kerahasiaannya sangat tinggi- yang hanya keduanya dan Tuhan Yang Maha Mengetahui sajalah yang tahu isi dan makna bisikan itu.
Santap siang bersama adalah aktivitas yang biasa atau lumrah dilakukan dalam kehidupan bersama. Namun, menjadi “daya tarik” tersendiri sekaligus memberikan nuansa dan signal pesan yang spesifik, apabila makan siang bersama, atau sarapan pagi bersama, coffee morning, dan ngopi bareng di sore hari, atau juga santap malam bersama itu, justru dilakukan secara ekskulsif oleh para pejabat publik, politisi, birokrat, pelaku bisnis dan sebagainya di tempat yang tergolong “eksklusif” pula.
Seluruh rakyat di PPS telah mengetahui bahwa pada Kamis (1/12) di Merauke, Pj.Gubernur PPS, Dr.Ir.Apolo Safanpo,ST.MT melantik Madaremmeng menjabat Pj.Sekda PPS sambil tetap menduduki jabatan yang sedang diembannya yakni Sekretaris Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Usai menerima tugas dan tanggungjawab sebagai Pj. Sekda PPS, Madaremmeng langsung “tancap gas” melaksanakan tugasnya membantu Gubernur PPS dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah PPS.
Pertemuan sembari santap siang bersama antara Madaremmeng yang baru dilantik menjadi Pj Sekda PPS dengan Bupati Romanus Mbaraka sepertinya merupakan sebuah momentum perjumpaan kembali dua sahabat lama. Tidak dipungkiri bahwa Madaremmeng adalah sahabatnya Romanus Mbaraka sehingga wajar-wajar saja jika keduanya menggelar “temu kangen” sambari menyantap hidangan lezat saat makan siang itu.
Mungkin saja mereka berdua sudah saling mengenal, sebelum dan selama Romanus Mbaraka berjibaku di Kemendagri, Jakarta mengurusi banyak hal terkait pertarungan politik Pilkada serentak Kabupaten Merauke, Desember 2020 lalu yang sukses menghantarnya menduduki kursi Bupati Merauke hingga tahun 2024, walaupun setelah pesta demokrasi Pilkada itu, Romanus Mbaraka masih diguncangkan kasus hukum dugaan penggunaan ijazah palsunya (yang digugat prakatisi hukum Aloysius Dumatubun,SH) namun pada akhirnya, masalah pelik ini, menemukan ujung akhirnya di Mabes Polri.
Prasangka politik
DALAM konteks politik praktis, perjumpaan makan siang bersama yang eksklusif antara Madaremmeng dan Romanus Mbaraka sontak memunculkan “prasangka politik” dari para politisi lokal di Merauke yang memandang acara makan siang bersama itu sebagai sebuah aktivitas yang “khusus” walaupun, makan siang bersama itu adalah hal yang biasa-biasa saja dan sangat jauh dari agenda politik praktis, serta semata-mata hanya sebagai “temu kangen” dua sahabat lama.
Mungkin saja, seluruh percakapan Madaremmeng dan Romanus saat makan siang bersama — dengan menampilkan raut wajah dan gerak tubuh yang spesifik di meja makan yang eksklusif itu — samasekali tidak memperbincangkan isu politik lokal Kabupaten Merauke dan isu politik regional Provinsi Papua Selatan, tetapi karena pada hari-hari ini angin politik sedang bertiup kencang ke arah Gedung Negara – Kantor sementara Gubernur Provinsi Papua Selatan maka, wajar-wajar saja dan “sah-sah” saja jika, momentum makan siang bersama itu akhirnya membangunkan naluri “prasangka politik” yang patut dicermati walaupun belum tentu memiliki kebenarannya.
Pertanyaannya adalah prasangka apa saja yang mengitari perjumpaan makan siang bersama Madaremmeng dengan Romanus?
Orang dapat saja berprasangka (belum tentu Benar) bahwa jangan sampai, pertemuan makan siang itu membahas strategi dan taktik politik mempersiapkan jalan bagi seseorang menuju Pilkada definitive Gubernur PPS tahun 2024 atau memperbincangkan taktik dan strategi politik praktis memengaruhi pengaturan dan jalannya roda pemerintahan Provinsi Papua Selatan; atau pula taktik poltik “menggeser dan menggusur” oknum pejabat tertentu di lingkungan birokrasi Pemerintahan Provinsi Papua Selatan dengan cara antara lain membangun isu-isu politik murahan yang kontra produktif demi mencapai tujuan dan ambisi politik praktis di tingkat lokal dan regional.
Malahan, ada prasangka politik yang muncul yakni seluruh atau sebagian besar aparatur di lingkungan pemerintah PPS haruslah “orang saya” demi memuluskan dan memenangkan pertarungan politik memperebutkan kursi gubernur defintif PPS pada Pilkada Gubernur PPS Tahun 2024.
Atau juga, prasangka politik bahwa pemerintahan PPS di bawah Gubernur Apolo Safanpo harus diamputasi agar Apolo gagal memimpin PPS dan dengan demikian tamatlah riwayat politiknya di panggung politik regional PPS.
Tentu, masih banyak prasangka politik yang dapat dimunculkan di panggung politik lokal dan regional yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Berpikir dan Berperilaku Positif
PATUT dicamkan baik-baik, dengan kecerdasan yang prima, dan dengan penuh hikmah kebijaksanaan bahwa: Kata “prasangka” itu sendiri diambil dari kata praejuducium yang artinya adalah suatu pernyataan atau sebuah kesimpulan yang berdasarkan dari pengalaman atau perasaan yang cukup dangkal terhadap individu lain atau kelompok lainnya.
Meskipun begitu, bentuk dari prasangka itu sendiri bukan hanya berupa pendapat saja, tetapi juga bisa berarti sebagai perilaku, emosi, atau sikap negatif terhadap individu atau kelompok tertentu. Dikarenakan prasangka bernilai negatif, perilaku, sikap, atau pendapat ini jika dibiarkan begitu saja akan memunculkan suatu permusuhan, tindakan diskriminatif, bahkan bisa memunculkan suatu konflik yang dapat merusak persatuan dan kesatuan.
Prasangka memang sangat melekat dengan kehidupan sosial yang kita jalani, sehingga tak sedikit orang yang menyebut prasangka sebagai prasangka sosial. Meskipun sering ada di sekitar kita, tetapi sebisa mungkin untuk mencegahnya agar permusuhan pun dapat terhindarkan.
Dari uraian singkat terkait pemahaman tentang “Prasangka” itu sendiri, kiranya semua pihak tanpa kecuali diajak untuk selalu berpikir, berpandangan dan berperilaku positif. Artinya, tidak membangun prasangka buruk (berpikir dan berperilaku negative) terhadap seseorang atau sekelompok orang walaupun orang atau kelompok orang itu memiliki pandangan dan berperilaku buruk terhadap diri kita sendiri.
Sekda PPS Madaremmeng ketika menginjakkan kakinya di Merauke, ibukota PPS pada Rabu (30/11) secara tegas menyatakan bahwa dirinya samasekali tidak memiliki ambisi politik apapun dengan Papua Selatan.
“Saya tidak punya ambisi dan kepentingan politik apapun terkait PPS. Saya terkejut mendadak mendapat penugasan untuk menjabat PJ Sekda PPS. Saya tidak bermimpi menjabat jabatan ini. Saya ditugaskan untuk mempersiapkan calon Pj.Sekda pengganti saya. Saya punya banyak pekerjaan di Jakarta. Saya ke Merauke untuk membantu Pak Apolo selaku Pj.Gubernur PPS,” tegas Madaremmeng.
Untuk mempercepat pekerjaannya itu, Madaremmeng datang ke Merauke membawa serta satu Tim personil dari Kemendagri yang mumpuni di bidangnya masing-masing. Tenag-tenaga muda ini dibawanya masuk ke Kantor sementara Gubernur PPS untuk bekerja mempersiapkan semua adminsitrasi yang terkait dengan pemerintahan baru di Provinsi Papua Selatan. Tim yang solid dan kuat ini berjibaku mempersiapkan pelantikan Penjabat Sekda PPS dan penyerahan SK bagi sepuluh Penjabat Pemimpin SKPD di lingkungan Pemprov Papua Selatan.
Setelah dilantik menjabat Pj.Sekda PPS oleh Gubernur Apolo Safanpo, Penjabat Sekda Madaremmeng secara marathon menggelar rapat-rapat kedinasan bersama semua pimpinan SKPD yang baru saja menerima SK penugasan dari Gubernur Apolo Safanpo.
Bersama kesepuluh penjabat pimpinan SKPD yang baru itu, mereka mulai bekerja sungguh-sungguh pada jam-jam pertama jalannya roda pemerintahan Gubernur PPS, Apolo Safanpo.
Sedangkan terkait Bupati Romanus Mbaraka, seluruh rakyat di PPS harus sudah mengetahui bahwa Ramanus adalah Bupati Kabupaten Merauke yang memerintah hingga tahun 2024 mendatang.
Romanus itu “Oran Baik”. Dia bekerja untuk kebaikan rakyat Kabupaten Merauke. Dia adalah salah satu calon pemimpin masa depan di Selatan Tanah Papua. Kita patut mengawalnya agar dia bekerja dengan baik, bijaksana dan sukses hingga akhir masa jabatannya. Kita tidak perlu berprasangka buruk terhadapnya karena dari sononya, dia memang “Orang Baik”. Romanus itu pemimpin kita di Kabupaten Merauke, hari ini!
Penutup
KITA harus tetap percaya dan optimis bahwa perjumpaan makan siang bersama antara Madaremmeng dengan Ramanus Mbaraka adalah sebuah aktivitas pertemuan yang rutin dan lumrah, sebuah perjumpaan persaudaraan dan sebuah acara kecil “temu kangen”.
Romanus dan Madaremmeng pasti ingin memberikan yang terbaik bagi rakyat Kabupaten Merauke dan rakyat PPS selama keduanya dipercayakan Pemerintah Negara RI untuk ikut menyejahterakan rakyat di PPS, dimana Madaremmeng sebagai Penjabat Sekda PPS – membantu memperlancar dan menyukseskan tugas-tugas Gubernur Apolo Safanpo, sedangkan Ramanus Mbaraka sebagai Bupati Merauke.
Namun demikian, ketika keduanya sedang makan siang bersama – mengecap hidangan lezat di meja makan eksklusif itu, kita semua – seluruh rakyat di Kabupaten Merauke dan seluruh lapisan masyarakat di PPS sontak teringat dan masih tetap percaya pada pepatah tua ini bahwa di dalam berpolitik ”There is no free lunch – Tak ada makan siang gratis”.
Di dalam berpolitik, selain tidak ada makan siang gratis, tidak ada sarapan pagi gratis, tidak ada santap malam gratis dan tidak ada ngopi bareng yang gretong alias gratis, juga di dalam berpolitik, tidak ada kawan abadi atau lawan abadi, yang abadi hanyalah Kepentingan!
“Semoga Damai dan Keadilan membaharui wajah bumi Anim-Ha, Tanah Papua Selatan – dan melimpahi semua penghuninya dengan Kegembiraan dan Kesejahteraan berlimpah!”
“Gloria Dei vivens homo – Kemuliaan Allah adalah purnanya hidup manusia” (St.Ireneus).
*Peter Tukan: Wartawan, Juni 1983 – sekarang