Oleh: Dr. Ahmad Kadir
Pada suatu kesempatan membaca media komunikasi mainstream WhatsApp (WA), saya mendapatkan chat WhatsApp dari seorang kolega di Universitas Papua, yaitu Agus Sumule.
Chat yang kemudian dimuat sebagai opini di media tiffanews berjudul “RLS dan Investasi” tersebut berupa tanggapan Agus Sumule terkait dengan pidato Menteri Investasi Bahlil Lahadalia yang disertai dengan link beritanya (https://www.primarakyat.net/2023/07/15/menteri-bahlil-mau-investasi-kuncinya-hanya-satu-jangan-palang/).
Sebagai kolega yang baik dan teman diskusi, Pak Agus Sumule memang sering sekali mengirimkan catatan-catatan kritisnya kepada saya melalui WhatShap.
Salah satu tanggapan yang mungkin memantik Agus Sumule berkomentar adalah peryataan Bapak Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, yang juga notabene adalah seorang yang dibesar dalam lingkaran Kebudayaan Papua.
Pak Menteri Investasi/Kepala BKPM RI, Bahlil Lahadalia meminta masyarakat khususnya pemilik hak ulayat agar tidak menghalangi masuknya investasi di Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Kata Pak Menetri “Kalau kita mau investasi kuncinya cuma satu, jangan main palang terus, ini saya kasitau baik-baik, sampai ayam tumbuh gigi, negeri ini kalau mau maju, katong pu (punya) hati harus baik,” ujar Menteri Bahlil.
Palang memang menjadi sebuah fenomena baru yang mengiringi narasi perjalanan investor di Papua. Pak Menteri menegaskan bahwa ada fenomena baru dalam kebudayaan Papua yang dulunya tidak ada, yaitu fenomena “Palang”.
Menurut Agus Sumule, ada dua jawaban kenapa palang itu menjadi fenomena baru di Papua. Pertama, karena yang melakukan pemalangan itu merasa/berpendapat mereka tidak memperoleh manfaat yang layak dari kehadiran suatu proyek – apalagi ketika mereka tahu bahwa proyek itu meraup untung besar.
Jadi, menurut Agus Sumule pemalangan bisa dipandang sebagai bentuk komunikasi non-verbal agar keprihatinan mereka diperhatikan oleh Pemerintah/pemerintah daerah dan investor.
Kedua, dan ini yang lebih penting, di dalam budaya Melanesia sesungguhnya tidak dikenal pengalihan/transfer hak atas tanah/lahan – termasuk sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.
Argumentasi Agus Sumule disertai dengan refrensi “Social and Cultural Aspects of Land Tenure” itu ditulis oleh Joel Bonnemaison (1944). Paling tidak dalam chapter tersebut dijelaskan bahwa tanah adalah bagian penting kehidupan umat manusia khususnya pada kebudayaan Melanesia.
Dalam banyak literatur antropologi tentang tanah di Papua, disebut bahwa tanah dianalogikan sebagai rahim seorang ibu yang memberi jamin hidup pada umat manusia.
Hal terpenting dalam sistem kepemilikan tanah sebagai hak ulayat (property right) adalah larangan menjual dan hanya dapat dipinjamkan.
Berdasarkan kepemilikan ini, maka semua tanah yang akan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama baik untuk kalangan internal maupun untuk pihak luar, membutuhkan kesepakatan bersama dalam masyarakat hukum adat.
Untuk penggunaan tanah klen, diperlukan persetujuan antara tetua klen dengan anggota dalam masyarakat hukum adat. Pengakuan atas hak ulayat komunal ini selain dikukuhkan melalui pranata-pranata sosial yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam, juga dikukuhkan lewat kesepakatan dengan masyarakat-masyarakat pendukung hak ulayat lain yang ada di sekitar mereka.
Oleh karena itu, tanah adat juga milik abadi. Theo van den Broek (1998) mengemukakan konsep kelompok tidak meliputi mereka yang hidup sekarang saja, melainkan termasuk juga mereka yang saat ini belum lahir. Maka, tanah juga memiliki fungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup kelompok.
Dari argumen antropologi (etnografi), tentang tanah-tanah di Papua, khususnya terkait dengan tanah adat, dan fenomena “palang”, maka saya mencoba merenungkan beberapa argumentasi yang mengakibatkan timbulanya masalah “palang memalang” tersebut, khususnya dengan kehadiran investasi di Papua, seperti yang digambarkan oleh Bapak Menteri Investasi/ Kepala BKPM RI.
Kehadiran investor modal besar secara masif di Papua berdampak pada perubahan besar dalam kebudayaan Papua. Arus investasi dengan modal besar tersebut terus menyeret masyarakat tradisional Papua yang masih hidup dalam balutan ekonomi subsiten ke dalam putaran ekonomi global.
Maka terjadi lompatan peradaban manusia dari masyarakat berburu-meramu ke ekonomi pasar yang kapitalistik. Dan pastinya, investasi bermodal besar tersebut mengokupasi tanah-tanah adat dan mengakibatkan tergerusnya jati diri pemilik tanah.
Kehadiran investasi modal besar, seperti Genting Oil dan LNG Tangguh di Teluk Bintuni yang sudah berlangsung selama kurang lebih 3 atau 4 dekade yang lalu , dan rencana pembanguan pabrik Pupuk Kimia oleh PT Pupuk Kaltim, serta pembangunan smelter Freeport yang rencana dibangun di Fakfak akan menabah deretan panjang investasi modal besar, bertubi-tubi mendera tanah dan penghuninya. Berita tersebut disampaikan Wakil Presiden RI dan rombongan ketika berkunjung ke Fakfak baru baru ini.
Investasi besar besaran menyodorkan pemandangan kemewahan yang kapitalistik, seperti bangunan fisik. tapi terkadang kita lalai menghadirkan bangunan bangunan peradaban seperti sekolah modern, universitas berkelas dunia, asrama Pendidikan, rumah sakit modern, toko buku, dan perpustakaan.
Ijin Kultural
Kegalauan budaya yang dihadapi masyarakat tradisional Papua ketika berhadapan dengan investasi bermodal besar, biasanya akan direspon dengan cara baru yaitu “palang”.
Saya setuju dengan ulasan Agus Sumule, palang adalah bentuk lain dari komunikasi non-verbal untuk mendapatkan akses pada investasi modal yang sedang berlangsung di wilayah hak ulayat mereka.
Namun ada persoalan kultural yang terlupakan oleh para investor yaitu soal “ijin kultural”, sehingga memunculkan “pemalangan”,
Untuk persoalan tersebut, sejatinya pemahaman aspek sosial budaya melalui ijin kultural pada pemilik hak ulayat, menjadi kewajiban moral bagi investor. Sebagaimana dalam hampir semua kebudayaan Melanesia, sebelum menggunakan tanah untuk kepentingan ekonomi seperti berkebun dan lain-lain, harus dilakukan ritual persembahan kepada kekuatan adikodrati.
Hewan kurban dipersembahkan kepada arwah para leluhur yang menguasai tanah adat, pemberi persembahan mendapat izin untuk mengolah tanah tersebut.
Dalam ijin kultural ini diyakini terdapat kekuatan gaib yang dapat menghubungkan manusia yang masih hidup dengan para leluhur. Pada ranah kegaiban ini terdapat daya supranatural yang bisa mengintervensi kehidupan nyata manusia. Pemberian sesaji sebelum memulai suatu kegiatan menjadi suatu kewajiban komunal dan tanah adalah milik abadi.
Mendapatkan ijin kultural dari pemilik yang tanahnya akan diokupasi akan dapat mengurai fenomena “palang”. (Bersambung)
Dr. Akhmad Kadir, Antropolog Universitas Cenderawasih