Oleh Thomas A. Hartu*
Sulit terbayangkan eksistensi sebuah negara tanpa kekuasaan politik. Keberadaan negara selalu mengandaikan unsur yang memimpin dan yang dipimpin. Unsur yang memimpin mengacu pada barisan para pejabat yang memangku jabatan-jabatan strategis politik. Mereka memainkan peranan penuh dalam mengatur kehidupan dalam negara melalui aneka regulasi dan hukum yang ditetapkan. Sedangkan, unsur yang diperintah merujuk pada warga negara majemuk yang menjadi subjek pelayanan politis para penguasa politik. Keberadaan warga negara memberikan legitimasi adanya kekuasan politik.
Wajah Ganda Kekuasaan Politik
Diskursus seputar kekuasaan politik acap menjadi tema yang aktual. Tak sedikit orang menaruh perhatian penuh terhadap tema ini. Mereka bisa berasal dari kalangan yang berbeda-beda. Ada kalangan mahasiswa, akademisi, para cendikiawan, pers, dan lain seterusnya. Perbincangan seputar kekuasaan politik tidak terlepas dari fakta bahwa kekuasaan politik memiliki wajah ganda yang saling bertolak belakang.
Di satu sisi, kekuasaan politik memiliki wajah positif. Di sini, kekuasaan politik dapat membawa manfaat dan berkah yang luar biasa bagi warga negara karena dipergunakan secara rasional oleh para penguasa. Penguasa menjadikan kekuasaan politik sebagai instrumen untuk menata kehidupan dalam negara, dan untuk menciptakan transformasi kehidupan warga negara dari yang buruk menuju kebaikan. Dengan demikian, nilai positif keberadaan kekuasaan politik akan dirasakan dan dinikmati oleh semua warga negara.
Wajah positif kekuasaan politik juga terkonfirmasi dalam tindakan pengakomodasian hak-hak politik dan hak asasi manusia warga negara. Kekuasaan jenis ini memberi ruang kepada warga negara untuk terlibat aktif dalam pelbagai aktivitas politik seperti pemilihan umum, hak bersuara di ruang publik, berserikat, dan sejenisnya.
Selain itu, kekuasaan politik berwajah positif juga selalu mempertimbangkan hak asasi warga negara dalam menelurkan aneka kebijakan politis agar tidak merugikan dan mengorbankan warga negara sehingga percecokan antara penguasa dan warga negara niscaya terhindarkan.
Di sisi lain, kekuasaan politik dapat tampil dengan wajah negatif. Wajah negatif kekuasaan politik de facto potensial mendatangkan petaka maha dahsyat bagi warga negara. Kekuasaan politik akan menjadi petaka bukan kerena kekuasaan itu sendiri, tapi atas dasar pola laku para pemegang kekuasaan yang dangkal, culas, dan korup. Di tangan penguasa berwatak demikian, hak-hak politik warga negara dipasung, dan hak asasi manusia tidak menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan politik.
Kekuasaan politik berwajah negatif potensial menjadi senjata yang bisa membunuh nasib warga negaranya sendiri. Di sini, penguasa menuntut warga negara untuk patuh dan manut. Jika ada warga negara yang membangkang, akan ditanggapi dengan arogansi kekuasaan: senjata teror, represifitas, dan tindakan anarkis. Dampak destruktif yang timbul setelahnya pun beragam. Warga negara akan semakin menderita, terisolasi dari kesejahteraan, haus dan dahaga akan keadilan sosial.
Panggilan Memelihara Fitrah Kekuasaan Politik
Wajah ganda kekuasaan politik di atas seyogyannya menjadi bahan refleksi untuk direnungkan secara bersama. Di hadapan wajah ganda tersebut, kita dipanggil untuk memilih salah satu: entah wajah positif atau wajah negatif.
Kita seyogyannya harus mampu memilah dan memilih mana yang layak dipilih dan mana yang tidak; mana yang layak dipertahankan dan mana yang harus ditinggalkan. Tidak mungkin kita memilih keduanya secara bersamaan. Pilihan kita harus tepat agar tidak menimbulkan persoalan di masa depan.
Memilih salah satu adalah panggilan bagi semua orang, baik penguasa maupun warga negara. Pertama, panggilan bagi para penguasa. Para penguasa harus menyadari bahwa hakikat kekuasaan politik adalah instrumen untuk melayani kepentingan warga negara.
Sadar akan hakikat ini, para penguasa seyogyannya memilih kekuasaan politik berwajah positif yang mampu menciptakan perubahan signifikan dalam tatanan hidup warga negara, baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun budaya.
Karena itu, imperatif etisnya ialah para penguasa, dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan warga negara, harus memiliki integritas, kebijaksanaan, dan penuh tanggungjawab.
Kedua, panggilan bagi warga negara. Warga negara memiliki andil besar dalam menjaga marwah kekuasaan politik. Tugas warga negara ialah mengontrol kinerja para penguasa melalui kritik. Kritik adalah salah satu model komunikasi politik warga negara kepada penguasa.
Kritik lahir dari rasa ketidakpuasan dan kegeraman warga negara akibat tindakan penguasa yang menggunakan kekuasaan politik dengan tidak berorientasi pada pemenuhan kepentingan umum. Dengan kritik, masyarakat dapat meluruskan pola pelayanan para penguasa agar tetap berada pada rel yang sebenarnya. Dengan demikian, penyalahgunaan kekuasaan politik dapat diminimalisasi.
Pada akhirnya, upaya memelihara fitrah kekuasaan politik adalah tanggung jawab bersama antara penguasa dan warga negara. Kekuasaan politik harus seratus persen dijadikan sebagai instrumen untuk melayani kepentingan warga negara guna terciptanya kesejahteraan, kebahagiaan, dan keadilan sosial dalam negara.
Karena itu, para penguasa dan warga negara harus berjalan bersama. Para penguasa harus menderma kinerja-kinerja yang sesuai dengan mandat rakyat, dan rakyat harus tetap setia untuk memberikan kritik pada penguasa bila kekuasaan politik itu dicurigai telah disalahgunakan.
* Thomas A. Hartu, Belajar di IFTK Ledalero, Maumere, NTT