Pengakuan Status Orang Asli Papua (OAP) dalam UU Otonomi Khusus Papua: Pertimbangan Legal, Budaya, dan Hak Asasi Manusia
TIFFANEWS.CO.ID – Perdebatan mengenai status Orang Asli Papua (OAP) menjadi pusat perhatian di kalangan masyarakat, terutama seiring dengan pembentukan provinsi baru di Tanah Papua. Hal ini menyorot ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, serta revisi terbaru melalui UU No. 2 Tahun 2021.
Definisi OAP yang tercantum dalam pasal 1 huruf (t) UU No. 21 Tahun 2001 dan pasal 1 ayat 21 UU No. 2 Tahun 2021 menegaskan bahwa OAP adalah individu yang berasal dari rumpun ras Melanesia dan/atau diakui oleh Masyarakat Adat Papua.
“Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri atas suku – suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai Orang Asli Papua oleh Masyarakat Adat Papua.”
Namun, untuk menentukan keaslian status OAP, UU tersebut menjabarkan dalam empat poin terkait keturunan orang tua, baik dari sisi Bapak maupun Ibu, serta pengakuan oleh masyarakat adat Papua.
Adapun empat poin yang dapat dijabarkan keaslian manusia OAP yaitu berasal dari keturunan orangtua (bapak dan ibu) suku asli Papua, berasal dari keturunan orangtua bapak suku asli Papua, berasal dari keturunan orangtua ibu suku asli Papua dan bukan suku asli Papua namun telah lahir dan besar di Tanah Papua serta diakui oleh masyarakat Adat Papua.
Perdebatan ini sebenarnya telah dimulai di kalangan cendekiawan dan legislator hingga mencapai kesimpulan bahwa penentuan status OAP tidak hanya bergantung pada aspek fisik, tetapi juga mempertimbangkan faktor biologis dan pengakuan masyarakat adat. Meskipun demikian, jika salah satu orang tua adalah OAP, maka individu tersebut dianggap sebagai OAP.
Faktor-faktor seperti adanya komunitas dengan ibu OAP, pertanyaan mengenai genetika dan darah OAP dalam tubuh individu, serta pengalaman tumbuh besar dalam tatanan budaya Papua juga menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan status OAP.
“Bukankah di dalam tubuh raganya juga mengandung Gen OAP ? Bukankah didalam tubuh mereka juga mengalir darah OAP ? Bagaimana dengan anak yang lahir dari rahim seorang perempuan asli Papua, tumbuh dan dibesarkan dalam tatanan adat istiadat suku – suku asli Papua dan beberapa fakta lainnya,” Dikutip dari Cepos (10/12/2012), Menurut UU Otsus Papua Siapakah OAP itu ? (Mathias Refra dan Steve Waramori, warga masyarakat).
Pendiri UU Otonomi Khusus menyadari pentingnya memperhitungkan hak asasi manusia dalam penentuan status OAP. Mereka meyakini bahwa penentuan status OAP yang didasarkan pada kriteria yang sempit dapat melanggar hak-hak dasar manusia. Secara yuridis, penentuan status OAP telah diatur dalam pasal-pasal yang telah disebutkan sebelumnya, serta didukung oleh putusan Mahkamah Konstitusi No. 29/PUU-IX/2011.
Dengan demikian, pengakuan terhadap status OAP di Papua tidak hanya bersandar pada pertimbangan biologis, tetapi juga memperhatikan hak asasi manusia dan pengakuan budaya masyarakat adat Papua dan ini menjadi landasan penting dalam menciptakan inklusivitas dan keadilan bagi semua masyarakat Papua. (Ron)